Selasa, 01 Januari 2019

Indonesia Bebas Korupsi

Sebagian masyarakat Indonesia boleh dikata tidak peduli terhadap keterbengkalaian sumber daya alam. Urusan olah mengolah sumber daya alam hanya untuk mereka yang tahu saja. Masyarakat yang apatis hanya memikirkan bagaimana bisa hidup dengan senang, terutama dengan cara instan, tanpa perlu repot-repot melakukan sesuatu yang ribet. Tidaklah mengherankan jika banyak yang terjerumus ke dalam lembah kejahatan, terutama korupsi. Korupsi merupakan salah satu penyebab sebagian masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, selain faktor-faktor pelengkap yang mendukung kemiskinan itu.
Saat ini, dunia pemberitaan Indonesia dipenuhi dengan kasus-kasus mengenai korupsi. Berita-berita yang sungguh membuat dada begitu sesak menyaksikan beratus-ratus milyar uang negara yang dikorupsi. Berita-berita yang dipenuhi oleh wajah senyum tanpa bersalah para pejabat si pengerat uang negara. Sepertinya tiada hari tanpa korupsi di Indonesia. Sepertinya dunia pemberitaan hampir berada di titik maksimal kejenuhan dikarenakan pemberitaan mengenai korupsi yang tiada habisnya.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang layak diberi hukuman berat. Berbicara mengenai hukum, untuk kasus korupsi sangatlah berbelit-belit. Ada kasus yang membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan untuk mengusutnya. Bahkan, ada juga kasus di mana si terdakwa telah tertangkap tetapi belum diberikan vonis. Apakah itu karena pasal-pasal untuk menjerat si tersangka masih dianggap belum kuat, bukti-bukti yang kurang mendukung statusnya sebagai tersangka, atau mungkin lambannya kinerja dari penyidik?
Namun, setelah pengusutan selesai hukuman yang diberikan malah relatif ringan dan tidak sebanding dengan kerugian uang negara. Dari pemberitaan hukumannya hanya berkisar dua sampai dengan empat tahun penjara. Seharusnya, seseorang yang melakukan kejahatan besar harus mendapat hukuman yang berat pula. Apa yang dilakukan harus sebanding dengan apa yang didapat. Pada kenyataannya, hal tersebut berbanding terbalik.
Perbandingan terbalik tidak hanya pada kasus korupsi. Hal ini juga terdapat pada kasus pencurian biasa. Seorang warga mencuri sandal seharga tiga puluh ribuan rupiah dikenai hukuman lima tahun penjara tanpa ampun. Bayangkan, lima tahun penjara karena tiga puluh ribu ripuah? Sungguh ironis. Bagi para koruptor, uang dengan jumlah demikian hanya dianggap recehan sehingga mereka tak tanggung-tanggung memenuhi nafsu syahwat untuk memiliki kekayaan melimpah dengan korupsi. Lima tahun dengan barang curian yang tidak sampai harga lima puluh ribuan kontras sekali dengan dua-empat tahun untuk hasil korupsi bermilyar-milyar.
Negara kita adalah negara dengan sistem politik demokratis, demokrasi Pancasila. Menurut S. Pamudji dalam bukunya “Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional”, salah satu aspek yang terkandung dalam demokrasi pancasila itu adalah aspek optatif. Aspek optatif ini mengetengahkan tujuan atau keinginan yang hendak dicapai. Tujuan ini meliputi tiga hal yaitu terciptanya negara hukum, negara kesejahteraan, dan negara kebudayaan. Untuk negara kebudayaan, Indonesia tidak perlu diragukan lagi mengingat banyaknya kebudayaan yang ada. Namun, untuk negara hukum apalagi negara kesejahteraan patut dipertanyakan sudah sejauh mana usaha pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan tersebut mengingat penegakan hukum di Indonesia masih kurang adil, terutama untuk kasus korupsi, sehingga berimbas secara tidak langsung terhadap kesejahteraan.
Pemerintah Indonesia bisa saja meminimalisir kasus korupsi dengan menerapkan pola hukum yang berbeda. Pemerintah Indonesia dapat mencontohi negara Cina. Cina yang masih tetap menerapkan sistem politik otoriter dan sentralistik memiliki penanganan kasus korupsi lebih maju dari Indonesia yang menganut sistem politik demokratis. Penanganan tersebut memberikan sedikit shock therapy kepada orang-orang yang berniat untuk korupsi. Cina memvonis hukuman mati terhadap orang-orang yang terbukti sebagai koruptor. Dari catatan tahun 2008 lalu, menurut informasi sudah sekitar 1700 orang yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dan dihukum mati. Mungkin sekarang jumlahnya lebih banyak lagi mengingat Cina sendiri mengakui bahwa hukuman itu belum sepenuhnya efektif untuk membabat habis korupsi sampai ke akar-akarnya.
Wacana mengenai hukuman mati ini telah banyak dikoarkan oleh pihak-pihak yang prihatin terhadap kasus korupsi yang melanda Indonesia. Mereka beranggapan bahwa hukuman mati sangat pantas untuk perenggut kesejahteraan banyak orang ini. Perealisasian hukuman mati dengan baik harus menerapkan sistem hukum yang didukung dengan kemauan yang kuat dari pemerintah. Namun, pihak-pihak yang fanatik dengan HAM berpendapat bahwa hukuman mati tidak efisien untuk memberantas korupsi. Selain melanggar hak untuk hidup karena koruptor juga manusia, hukuman mati ini dianggap sebagai penutup kasus yang mungkin saja masih ada pihak di luar sana yang belum sempat tercium keterlibatannya oleh pihak berwenang.
Apa salahnya mencoba? Seseorang tidak pernah tahu jika tidak pernah mencoba, bukan? Apabila aparat penegak hukum tidak berani menjatuhkan hukuman mati, niscaya praktik korupsi akan terus berjalan mengingat hukuman yang sekarang diberikan relatif ringan. Apakah aparat yang terhormat rela mengorbankan kesejahteraan masyarakat banyak hanya demi nyawa para koruptor? Apakah aparat penegak hukum sudah tidak sanggup lagi membantu pemerintah untuk memenuhi tujuan daripada demokrasi Pancasila, yakni menciptakan negara hukum dan negara kesejahteraan, yang belum tercapai sesuai harapan?
Selain pemerintah, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat dapat melaporkan ke pihak yang berwenang apabila menemui sesuatu yang mengarah ke korupsi. Iman juga perlu ditingkatkan agar masyarakat segan untuk korupsi dari skala kecil hingga ke skala yang besar.
Untuk global, dunia pun punya peran dalam membantu pemerintah Indonesia dengan cara mem-black list para koruptor yang kabur ke negaranya. Tentunya ini memerlukan koordinasi yang baik dengan pemerintah Indonesia. Negara-negara yang disinggahi para koruptor dari Indonesia diharapkan segera mengekstradisi “tikus-tikus” tersebut kembali ke habitatnya untuk diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Dengan demikian, apabila ketiga komponen di atas, yakni masyarakat, pemerintah, dan dunia menjalankan peranannya dengan baik niscaya koruptor tidak akan lagi berani memunculkan batang hidungnya atau bahkan lenyap sama sekali di Indonesia. Banyak uang negara yang akan terselamatkan. Jika hal itu tercapai, insya Allah potret Indonesia tahun 2019 tidak akan sesuram potret tahun-tahun lalu. Indonesia dapat mewujudkan tujuan berdirinya negara hukum, negara kesejahteraan, dan negara budaya yang baik. Indonesia akan menjadi salah satu negara yang paling banyak dikunjungi penduduk dunia setiap saat. Indonesia akan seindah cerita orang-orang luar sesuai realita di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar