Selasa, 26 Maret 2019

Susu Kambing, Inovasi dari Velvy untuk Perawatan Kulit

   Mandi adalah salah satu rutinitas kita sehari-hari untuk membersihkan dan menyegarkan tubuh. Ada berbagai macam produk sabun atau body scrub yang dijual di pasaran. Beragam bahan dasar digunakan, di antaranya adalah susu kambing.
    Menurut penelitian, susu kambing mengandung nutrisi yang lebih banyak dan lebih mudah diserap kulit. Oleh karena itu, Velvy meluncurkan inovasi pertamanya yang berbahan dasar susu kambing terbaik dari Belanda dalam bentuk shower cream, body lotion, dan body scrub dengan berbagai varian. Produk Velvy bebas paraben, gluten, dan SLS (Sodium Lauryl Sulfate) sehingga aman untuk digunakan. Tidak hanya itu, produk Velvy juga tersertifikasi halal oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia.
    Suatu saat, adik saya berbelanja di sebuah minimarket. Dia membeli Velvy Goat’s Milk Shower Cream Licorice & Shea Butter. Sesampainya di rumah, dia merekomendasikan sabun susu kambing ini. Saya pun tertarik untuk mencoba setelah membaca komposisi di dalamnya.
      Seminggu setelah pemakaian, saya merasakan ada perbedaan di kulit saya. Kulit menjadi lebih lembut dan bersih. Aroma sabun juga tahan lama dan tidak terlalu menyengat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, gunakan lotion susu kambing Velvy setelah mandi dengan varian yang sama secara rutin.

 


»»  read more

Selasa, 19 Maret 2019

Pesona Kebudayaan To Kaili

Wilayah Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang berjumlah sekitar 17.508 pulau, termasuk lima pulau terbesar di dalamnya yaitu pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian. Lima pulau besar tersebut di samping pulau-pulau lainnya didiami oleh berbagai suku yang memberikan warna tersendiri terhadap keberagaman di Indonesia, entah itu melalui kuliner, kesenian, bahasa, maupun aspek lainnya. Selain keberagaman secara buatan, terdapat pula keberagaman secara alami yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, berupa pemandangan alam nan indah penuh ke-khas-an masing-masing yang membentang di seluruh kawasan Nusantara.
Salah satu pulau, yaitu Pulau Sulawesi adalah pulau yang bersebelahan dengan Pulau Kalimantan di bagian barat. Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang unik, menyerupai huruf “K”. Pulau terbesar ke-11 di dunia ini terbagi atas 6 provinsi; Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Nama lain Sulawesi adalah Celebes, yang merupakan nama pemberian dari pelaut Portugis (bangsa Eropa yang pertama kali mengunjungi Sulawesi). Istilah Celebes juga digunakan dalam kosakata bahasa Inggris untuk menyebut wilayah ini.
Wilayah terbesar di pulau Sulawesi terletak di provinsi Sulawesi Tengah. Provinsi ini lahir pada tahun 1964, berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 11 daerah, yaitu 10 kabupaten (Banggai, Banggai Kepulauan, Buol, Donggala, Morowali, Parigi Moutong, Poso, Tojo Una-Una, Toli-Toli, dan Sigi) serta 1 kota (Palu).
Sulawesi Tengah memiliki beberapa sungai, di antaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa yang berpotensi untuk menghasilkan daya listrik, dan sungai Palu yang membelah kota Palu. Selain sungai, terdapat pula danau yang menjadi obyek wisata terkenal, yakni Danau Poso dan Danau Lindu. Danau Poso merupakan danau terbesar ketiga di Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Poso. Danau ini memiliki pasir putih dan wisata tracking di kawasan sekitar danau. Adapun danau Lindu yang terletak di Kabupaten Sigi terkenal dengan keindahan pemandangan danaunya dan merupakan habitat ikan mujair.
Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas belasan kelompok suku yang mendiami wilayah lembah dan beberapa suku yang hidup di daerah pegunungan. Banyaknya suku yang ada berkontribusi terhadap banyaknya bahasa di Sulawesi Tengah. Namun, masyarakat Sulawesi Tengah tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung untuk berkomunikasi antar suku dalam kehidupan sehari-hari.
Suku mayoritas di Sulawesi Tengah adalah suku Kaili. Suku Kaili secara turun-temurun mendiami wilayah di Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kota Palu, seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga mendiami kampung atau desa di Teluk Tomini dan menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan asal kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata Kaili berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan daerah, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Orang Kaili dalam bahasa Kaili disebut “To Kaili”. “To” adalah prefiks yang berarti orang. Dari sudut antropologi, cikal bakal orang Kaili menurut legenda berasal dari “bambu kuning”, yang erat kaitannya dengan Sawerigading. “Sawerigading” berasal dari kata savi yang berarti lahir dan  rigading  yang berarti di bambu kuning (bahasa Makassar). Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka.
Suku Kaili memiliki beberapa keunikan dari segi bahasa. Dengan adanya lebih dari dua puluh bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, hanya dengan jarak 2 km antar kampung dapat ditemukan bahasa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu, tiap bahasa dinamakan “tidak” sesuai dengan kosakata bahasa tersebut. Ini dikarenakan suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata “Ledo” ini berarti “tidak”. Bahasa Ledo ada yang masih asli (di sekitar Raranggonau dan Tompu) dan ada yang telah berasimilasi dengan beberapa bahasa para pendatang, terutama bahasa Mandar dan bahasa Melayu.    
Suku Kaili mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya dari segi sosial, sebagaimana halnya dengan suku-suku lain di pelosok Nusantara. Hukum adat yang berlaku merupakan norma yang harus dipatuhi dan terdapat sanksi bagi yang melanggarnya. Ada pula beberapa upacara adat sebagai bagian dari adat istiadat yang lainnya, misal upacara saat pesta pernikahan, kematian, musim panen, dan penyembuhan penyakit. Sebelum masuknya agama dalam ranah Kaili, upacara-upacara ini dilakukan dengan mantera-mantera yang mengandung kepercayaan masyarakat saat itu (animisme). Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, upacara adat setempat disesuaikan dengan upacara menurut agama penganutnya. Misal untuk yang beragama Islam, upacara-upacara seperti sunat, khatam Al-Qur’an, dan gunting rambut bayi usia 40 hari diselenggarakan berdasarkan ajaran agama Islam.
Salah satu upacara adat suku Kaili, yakni upacara penyembuhan penyakit disebut no-Balia (memasukkan roh untuk mengobati orang yang sakit). Suku Kaili melakukan penyembuhan penyakit dengan perantara dukun. Penyakit yang dimaksudkan di sini adalah penyakit yang berasal dari “teguran” makhluk halus. Pertama-tama si dukun membaca mantera-mantera yang membuatnya menjadi kesurupan. Kemudian setelah kesurupan, si dukun mengelilingi api yang telah dibuat hingga api tersebut mati. Selanjutnya ketika api padam, mulailah dukun tersebut menari di atas bara api. Roh yang ada dalam tubuh si dukun membuatnya dapat menari di atas bara api.
Pelaksanaan upacara ritual no-Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat dan disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Instrumen musik dimainkan dalam upacara Balia untuk mengiringi si dukun yang menari-nari (bahasa Kaili : notaro) karena kesurupan.
Secara etimologi, “Balia” berasal dari bahasa Kaili “nabali ia” yang artinya “berubah ia”. Perubahan yang dimaksudkan adalah ketika pelaku Balia dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku orang tersebut akan berubah sesuai dengan perilaku roh halus tersebut. Misal si dukun pria dimasuki oleh roh halus wanita, maka ia akan berperilaku layaknya seorang wanita. Pengertian lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” yang berarti “ubah dia”. Dalam pengertian ini lebih dititikberatkan pada seseorang yang diupacarakan agar penyakitnya dapat disembuhkan. Singkatnya orang yang sakit diubah menjadi sembuh.
Meskipun sebagian besar To Kaili memeluk agama Islam, namun sampai saat ini mereka masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme. Selain mengakui adanya kekuatan Tuhan, mereka juga mengakui adanya kekuatan gaib di langit dan di bumi. Pemilik kekuatan gaib di langit disebut karampua dan pemilik kekuatan gaib di bumi disebut anitu. Segala isi alam juga diyakini memiliki penghuni seperti pohon, gua, gunung, dan lain-lain.
Seseorang yang melanggar dan membuat para pemilik kekuatan gaib murka menyebabkan ia ditimpa bencana atau penyakit. Agar bencana atau penyakit itu hilang, maka ia diwajibkan untuk menjalani proses “pertobatan”. Proses ini dalam adat suku Kaili diwujudkan dalam ritual no-Balia. Balia sendiri merupakan ritual yang dilakukan oleh Sawerigading (nenek moyang suku Kaili) dan diikuti secara turun-temurun hingga saat ini.
Selain kekayaan budaya dari segi sosial, suku Kaili juga memiliki kekayaan budaya di bidang seni. Musik dan tarian memberikan nuansa yang heterogen di bidang ini. Fungsi keduanya telah dikembangkan sebagai hiburan untuk masyarakat yang sebelumnya hanya digunakan sebagai bagian dari ritual keagamaan. Hal ini terlihat dari adanya festival yang menampilkan tarian diiringi oleh musik tradisional. Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain kakula atau gulintang (sejenis gamelan pentatonis), lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan yang datar atau kecil), goo (gong), dan suli (suling). Adapun tarian Kaili dibagi ke dalam dua kategori, tradisional dan kreasi. Tarian tradisional yaitu tari Raego dan tari Baba. Adapun tarian yang termasuk kreasi yakni tari Pontanu, Pamonte, Peule Cinde atau Mokambu, dan Baliore.
Tari Pamonte adalah salah satu tari kreasi yang merakyat di kalangan suku Kaili. Tarian ini diciptakan oleh almarhum Hasan M. Bahasyuan, seorang seniman besar yang berasal dari Sulawesi Tengah, pada tahun 1957. Kata “Pamonte” berasal dari bahasa Kaili Tara; Po artinya pelaksana dan Monte artinya tuai atau menuai sehingga “Pamonte” artinya Penuai.
Tari Pamonte merupakan simbol gerak dari kebiasaan gadis-gadis suku Kaili ketika musim panen padi tiba. Mayoritas suku Kaili menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Para gadis menuai padi dengan penuh suka cita dan diiringi upacara kesyukuran kepada Tuhan atas keberhasilan panen. Gadis-gadis dipimpin oleh seseorang yang dalam bahasa Kaili disebut Tadulako. Tadulako berperan mengantar rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi ke rumah, membawa padi ke lesung, menumbuk padi, menapis, membawa beras ke rumah, dan mengadakan upacara selamatan. Tari Pamonte memiliki daya tarik yang kuat karena di setiap gerakannya menimbulkan kegembiraan terhadap penonton. Adapun lagu yang mengiringi tarian tersebut tentulah berbahasa Kaili sehingga mudah dimengerti bagi yang menontonnya, terutama masyarakat di lembah Palu.
Selain di bidang sosial dan seni, masyarakat Kaili juga memiliki kerajinan tangan yang sarat akan budaya. Salah satu kerajinan masyarakat Kaili adalah menenun sarung. Sarung tersebut seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang. Kegiatan menenun sarung ini banyak dilakukan para wanita di daerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo, dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe, tetapi masyarakat umum lebih familiar dengan nama Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif dan warna tenunannya.
Berdasarkan pemaparan mengenai kebudayaan suku Kaili, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, masyarakat Kaili masih memegang teguh tradisi yang menyangkut aspek kehidupan. Kepercayaan lama yang ada dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Kedua, hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak pada kegiatan kehidupan sehari-hari. Ini digambarkan melalui ritual no-Balia dan tarian Pamonte di mana keduanya mengandung semangat kebersamaan dan gotong royong yang disebut Sintuvu. Dan yang ketiga, kebudayaan suku Kaili dapat menjadi hiburan bagi masyarakat. Nilai seni yang tinggi sebagai salah satu kearifan lokal telah mewujudkan ikon budaya yang dapat mempresentasikan eksistensi suku Kaili di mata nasional maupun internasional. Menjaga, merawat, memelihara, serta melestarikan kebudayaan tersebut tentunya menjadi tanggung jawab bersama.

»»  read more

Selasa, 12 Maret 2019

The Lessons

I’d never hiked the mountain before. When Nina, my housemate, asked if I want to go to Bromo with her, I suddenly said “Of course!”. I thought it’d be a great experience, since I had much free time before start my master degree.
We started our trip, with other housemates and Nina’s friend, at 00:00 am. It took about two and half hour by car. The road was quite challenging, but our guide had good driving skill. The weather was getting cold and I wore my jacket. When we arrived at post, our guide served us some breads and hot tea. It was a perfect combination in the cold late night.
After had our early breakfast, we headed to Bromo by jeep. I’d never in the jeep, so I was pretending if I got kidnapped (jeep is linked with kidnapper’s ride in Indonesia), but I enjoyed the ride. Once we arrived, there were already a lot of people who were ready to hike the mountain. Our guide told us to do morning pray first before go to Love Hill. Even though the water irritated my skin (the temperature was 60 C), I should not leave my duty as a Muslim.
We climbed stairs to reach the hill. I was bit tired, but I kept going because I was really eager to see the sunrise near the mountain. We arrived and waited for few minutes before enjoy the scenery. There was a fence along the hill that kept visitors not fall into the mountain. I jumped over it carefully because it was risky and I took my best position to get pictures.
Here came the sun! I’d never expect if the sunrise was looking so beautiful. It was “shy” in the beginning, but its red-orange shine made me feel so calm. The shine swept the mountain top slowly until it touched my face. I was getting more impressed and I praised God for His creation.
After enjoyed the sunrise, we went to Whispering Sand. It was so-called because when the wind blew, the sand grains flew and sounded like a whisper. It was also a shooting location for Indonesia’s film, Pasir Berbisik. Then, we headed to Teletubbies Hill. It named after its similarity to Teletubbies series. Unfortunately, the grass was dry. We did not enjoy the scenery fully.
Finally, we arrived at the last place, Bromo crater. Our guide asked us to have a walk or rent the horse because the jeep could not bring us near to it. We decided to walk for few kilometers and followed others. At some moment, we lost the direction but we were bit hesitant to ask the locals. We just kept on walking and arrived at the cliff. The locals laughed at us and said “That is the wrong path. Why don’t ask for help?” I was embarrassed and we turned back to the right one. Then, we climbed another stair. I was so exhausted, but others kept asking me to climb and said “It will be useless if we do not reach the top. We already here.” I gathered my energy back. Once we reached the top, we were amazed by the crater. Its sound made me feel bit scare somehow.
The time was around 10:00 am. We went down and rented the horse, since we had no energy to walk again. I was struggling to ride the horse, but later on I was getting used to. Then, we got in the jeep and be ready to went home. All I can say if this experience taught me some life lessons – do not hesitant to ask for help and keep moving forward until reach the destination. 

»»  read more

Selasa, 05 Maret 2019

Smart Bed: Rahasia Tidur Berkualitas


A.    Pendahuluan
Tidur adalah bagian penting dari rutinitas harian kita. Tidur termasuk proses yang kompleks dan dinamis, karena mempengaruhi hampir setiap jaringan dan sistem dalam tubuh – mulai dari otak, jantung, dan paru-paru hingga metabolisme, sistem imun, suasana hati, dan resistensi penyakit. Tanpa tidur, kita tidak dapat membentuk atau mempertahankan jalur di otak yang memungkinkan untuk belajar, mengingat hal baru, berkonsentrasi, dan merespons dengan cepat[1].
Orang dewasa dianjurkan tidur selama 7 hingga 9 jam setiap malam. Untuk orang dewasa berusia antara 18 dan 25 tahun, beberapa di antaranya hanya membutuhkan 6 jam tidur per malam, sedangkan yang lain membutuhkan 10 atau bahkan 11 jam tidur per malam. Hal ini disebabkan oleh fungsi fisiologis masing-masing individu berbeda, sehingga kita perlu mengetahui apakah kita akan merasa segar setelah tidur selama 8 jam atau lebih/kurang satu hingga dua jam[2].
Berbeda halnya dengan kuantitas tidur, kualitas tidur mengacu pada seberapa baik seseorang tertidur. Kualitas tidur sama pentingnya dengan makanan dan air. Untuk orang dewasa, kualitas tidur yang baik berarti waktu untuk tertidur biasanya dalam 30 menit atau kurang, tidur nyenyak sepanjang malam dengan satu kali bangun, dan tertidur kembali setelah 20 menit. Sebaliknya, kualitas tidur yang buruk membuat kita menatap langit-langit atau menghitung domba. Hal ini dapat ditandai dengan sulit tidur, gelisah, dan bangun lebih awal[2]. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, di antaranya hipertensi, diabetes, dan dislipidemia[3].
B.    Smart Bed
Jutaan orang telah menggunakan aplikasi smart phone, monitor di sisi tempat tidur, dan barang-barang lainnya (termasuk gelang, smart watch, dan ikat kepala) untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang kualitas tidur secara informal. Teknologi pintar dapat merekam suara, pergerakan, jam tidur, dan detak jantung. Data kemudian disinkronkan ke smart phone atau PC. Aplikasi dan perangkat lainnya dapat menghasilkan cahaya yang merangsang produksi melatonin dan getaran lembut untuk membantu proses tidur dan bangun[1]. Berdasarkan hal ini, maka Smart Bed muncul sebagai inovasi terbaru yang menggabungkan beberapa teknologi pintar yang telah ada ke dalam suatu sistem terpadu sekaligus memberi kenyamanan ketika tidur.
Smart Bed adalah suatu inovasi tempat tidur yang memungkinkan penggunanya dapat memiliki kualitas tidur yang baik. Tidak hanya kasurnya yang nyaman, tetapi tempat tidur ini juga dapat memonitor detak jantung dan pergerakan saat tidur. Sistem dalam tempat tidur terintegrasi dengan aplikasi di smart phone yang dapat mengatur rentang waktu tidur. Ketika pengguna menyetel waktu tidur, misalkan selama 8 jam, maka aplikasi akan mengirim data ke dalam sistem tempat tidur untuk mengaktifkan alarm.
Sistem kerja alarm Smart Bed berbasis bau dan getaran. Alarm akan mengeluarkan bau yang variannya dapat dipilih oleh pengguna dan keluar dari tiap sisi tempat tidur. Lima menit setelah bau muncul (jika pengguna belum mematikan alarm), tempat tidur akan bergetar. Intensitas getaran dapat diatur, mulai dari mode sekali getaran atau getaran meningkat perlahan.
Pengguna dapat mengecek kualitas tidurnya di aplikasi. Kualitas tidur dapat dilihat dari dua parameter, yaitu non-rapid  eye movement (NREM)  dan rapid  eye movement (REM). NREM terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah ketika detak jantung mulai melambat dan otot-otot menjadi rileks dengan beberapa kedutan selama beberapa menit. Tahap kedua adalah ketika otot-otot menjadi lebih relaks. Tahap ini adalah tahap di mana siklus tidur lebih banyak diulang. Adapun tahap ketiga adalah ketika detak jantung melambat pada titik terendahnya dan otot-otot sulit untuk membangunkan tubuh. Tahap ini terjadi dalam periode yang lebih lama. Berikutnya, tahap REM terjadi sekitar 90 menit setelah tertidur. Detak jantung meningkat ke tingkat yang hampir terjaga. Otot lengan dan kaki menjadi lumpuh sementara untuk mencegah pergerakan[1].
Parameter-parameter tersebut dikalkulasi berdasarkan detak jantung dan pergerakan saat tidur. Kemudian, waktu tidur dibandingkan dengan persentase parameter untuk memberikan gambaran mengenai seberapa baik kualitas tidur pengguna. Setelah pengguna terbangun, maka pengguna dapat mematikan alarm untuk menjaga efisiensi sistem Smart Bed.

Referensi:
[1]     National Institute of Neurological Disorders and Stroke,
[2]     National Sleep Foundation, How is Sleep Quantity Different than Sleep Quality? https://www.sleep.org/articles/sleep-quantity-different-sleep-quality/.
[3]      Y. Sun Bin, Is Sleep Quality More Important than Sleep Duration for Public Health? Sleep 2016; 39:1629–1630.

»»  read more