Selasa, 19 Maret 2019

Pesona Kebudayaan To Kaili

Wilayah Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang berjumlah sekitar 17.508 pulau, termasuk lima pulau terbesar di dalamnya yaitu pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian. Lima pulau besar tersebut di samping pulau-pulau lainnya didiami oleh berbagai suku yang memberikan warna tersendiri terhadap keberagaman di Indonesia, entah itu melalui kuliner, kesenian, bahasa, maupun aspek lainnya. Selain keberagaman secara buatan, terdapat pula keberagaman secara alami yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, berupa pemandangan alam nan indah penuh ke-khas-an masing-masing yang membentang di seluruh kawasan Nusantara.
Salah satu pulau, yaitu Pulau Sulawesi adalah pulau yang bersebelahan dengan Pulau Kalimantan di bagian barat. Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang unik, menyerupai huruf “K”. Pulau terbesar ke-11 di dunia ini terbagi atas 6 provinsi; Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Nama lain Sulawesi adalah Celebes, yang merupakan nama pemberian dari pelaut Portugis (bangsa Eropa yang pertama kali mengunjungi Sulawesi). Istilah Celebes juga digunakan dalam kosakata bahasa Inggris untuk menyebut wilayah ini.
Wilayah terbesar di pulau Sulawesi terletak di provinsi Sulawesi Tengah. Provinsi ini lahir pada tahun 1964, berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 11 daerah, yaitu 10 kabupaten (Banggai, Banggai Kepulauan, Buol, Donggala, Morowali, Parigi Moutong, Poso, Tojo Una-Una, Toli-Toli, dan Sigi) serta 1 kota (Palu).
Sulawesi Tengah memiliki beberapa sungai, di antaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa yang berpotensi untuk menghasilkan daya listrik, dan sungai Palu yang membelah kota Palu. Selain sungai, terdapat pula danau yang menjadi obyek wisata terkenal, yakni Danau Poso dan Danau Lindu. Danau Poso merupakan danau terbesar ketiga di Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Poso. Danau ini memiliki pasir putih dan wisata tracking di kawasan sekitar danau. Adapun danau Lindu yang terletak di Kabupaten Sigi terkenal dengan keindahan pemandangan danaunya dan merupakan habitat ikan mujair.
Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas belasan kelompok suku yang mendiami wilayah lembah dan beberapa suku yang hidup di daerah pegunungan. Banyaknya suku yang ada berkontribusi terhadap banyaknya bahasa di Sulawesi Tengah. Namun, masyarakat Sulawesi Tengah tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung untuk berkomunikasi antar suku dalam kehidupan sehari-hari.
Suku mayoritas di Sulawesi Tengah adalah suku Kaili. Suku Kaili secara turun-temurun mendiami wilayah di Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kota Palu, seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga mendiami kampung atau desa di Teluk Tomini dan menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan asal kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata Kaili berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan daerah, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Orang Kaili dalam bahasa Kaili disebut “To Kaili”. “To” adalah prefiks yang berarti orang. Dari sudut antropologi, cikal bakal orang Kaili menurut legenda berasal dari “bambu kuning”, yang erat kaitannya dengan Sawerigading. “Sawerigading” berasal dari kata savi yang berarti lahir dan  rigading  yang berarti di bambu kuning (bahasa Makassar). Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka.
Suku Kaili memiliki beberapa keunikan dari segi bahasa. Dengan adanya lebih dari dua puluh bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, hanya dengan jarak 2 km antar kampung dapat ditemukan bahasa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu, tiap bahasa dinamakan “tidak” sesuai dengan kosakata bahasa tersebut. Ini dikarenakan suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata “Ledo” ini berarti “tidak”. Bahasa Ledo ada yang masih asli (di sekitar Raranggonau dan Tompu) dan ada yang telah berasimilasi dengan beberapa bahasa para pendatang, terutama bahasa Mandar dan bahasa Melayu.    
Suku Kaili mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya dari segi sosial, sebagaimana halnya dengan suku-suku lain di pelosok Nusantara. Hukum adat yang berlaku merupakan norma yang harus dipatuhi dan terdapat sanksi bagi yang melanggarnya. Ada pula beberapa upacara adat sebagai bagian dari adat istiadat yang lainnya, misal upacara saat pesta pernikahan, kematian, musim panen, dan penyembuhan penyakit. Sebelum masuknya agama dalam ranah Kaili, upacara-upacara ini dilakukan dengan mantera-mantera yang mengandung kepercayaan masyarakat saat itu (animisme). Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, upacara adat setempat disesuaikan dengan upacara menurut agama penganutnya. Misal untuk yang beragama Islam, upacara-upacara seperti sunat, khatam Al-Qur’an, dan gunting rambut bayi usia 40 hari diselenggarakan berdasarkan ajaran agama Islam.
Salah satu upacara adat suku Kaili, yakni upacara penyembuhan penyakit disebut no-Balia (memasukkan roh untuk mengobati orang yang sakit). Suku Kaili melakukan penyembuhan penyakit dengan perantara dukun. Penyakit yang dimaksudkan di sini adalah penyakit yang berasal dari “teguran” makhluk halus. Pertama-tama si dukun membaca mantera-mantera yang membuatnya menjadi kesurupan. Kemudian setelah kesurupan, si dukun mengelilingi api yang telah dibuat hingga api tersebut mati. Selanjutnya ketika api padam, mulailah dukun tersebut menari di atas bara api. Roh yang ada dalam tubuh si dukun membuatnya dapat menari di atas bara api.
Pelaksanaan upacara ritual no-Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat dan disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Instrumen musik dimainkan dalam upacara Balia untuk mengiringi si dukun yang menari-nari (bahasa Kaili : notaro) karena kesurupan.
Secara etimologi, “Balia” berasal dari bahasa Kaili “nabali ia” yang artinya “berubah ia”. Perubahan yang dimaksudkan adalah ketika pelaku Balia dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku orang tersebut akan berubah sesuai dengan perilaku roh halus tersebut. Misal si dukun pria dimasuki oleh roh halus wanita, maka ia akan berperilaku layaknya seorang wanita. Pengertian lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” yang berarti “ubah dia”. Dalam pengertian ini lebih dititikberatkan pada seseorang yang diupacarakan agar penyakitnya dapat disembuhkan. Singkatnya orang yang sakit diubah menjadi sembuh.
Meskipun sebagian besar To Kaili memeluk agama Islam, namun sampai saat ini mereka masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme. Selain mengakui adanya kekuatan Tuhan, mereka juga mengakui adanya kekuatan gaib di langit dan di bumi. Pemilik kekuatan gaib di langit disebut karampua dan pemilik kekuatan gaib di bumi disebut anitu. Segala isi alam juga diyakini memiliki penghuni seperti pohon, gua, gunung, dan lain-lain.
Seseorang yang melanggar dan membuat para pemilik kekuatan gaib murka menyebabkan ia ditimpa bencana atau penyakit. Agar bencana atau penyakit itu hilang, maka ia diwajibkan untuk menjalani proses “pertobatan”. Proses ini dalam adat suku Kaili diwujudkan dalam ritual no-Balia. Balia sendiri merupakan ritual yang dilakukan oleh Sawerigading (nenek moyang suku Kaili) dan diikuti secara turun-temurun hingga saat ini.
Selain kekayaan budaya dari segi sosial, suku Kaili juga memiliki kekayaan budaya di bidang seni. Musik dan tarian memberikan nuansa yang heterogen di bidang ini. Fungsi keduanya telah dikembangkan sebagai hiburan untuk masyarakat yang sebelumnya hanya digunakan sebagai bagian dari ritual keagamaan. Hal ini terlihat dari adanya festival yang menampilkan tarian diiringi oleh musik tradisional. Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain kakula atau gulintang (sejenis gamelan pentatonis), lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan yang datar atau kecil), goo (gong), dan suli (suling). Adapun tarian Kaili dibagi ke dalam dua kategori, tradisional dan kreasi. Tarian tradisional yaitu tari Raego dan tari Baba. Adapun tarian yang termasuk kreasi yakni tari Pontanu, Pamonte, Peule Cinde atau Mokambu, dan Baliore.
Tari Pamonte adalah salah satu tari kreasi yang merakyat di kalangan suku Kaili. Tarian ini diciptakan oleh almarhum Hasan M. Bahasyuan, seorang seniman besar yang berasal dari Sulawesi Tengah, pada tahun 1957. Kata “Pamonte” berasal dari bahasa Kaili Tara; Po artinya pelaksana dan Monte artinya tuai atau menuai sehingga “Pamonte” artinya Penuai.
Tari Pamonte merupakan simbol gerak dari kebiasaan gadis-gadis suku Kaili ketika musim panen padi tiba. Mayoritas suku Kaili menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Para gadis menuai padi dengan penuh suka cita dan diiringi upacara kesyukuran kepada Tuhan atas keberhasilan panen. Gadis-gadis dipimpin oleh seseorang yang dalam bahasa Kaili disebut Tadulako. Tadulako berperan mengantar rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi ke rumah, membawa padi ke lesung, menumbuk padi, menapis, membawa beras ke rumah, dan mengadakan upacara selamatan. Tari Pamonte memiliki daya tarik yang kuat karena di setiap gerakannya menimbulkan kegembiraan terhadap penonton. Adapun lagu yang mengiringi tarian tersebut tentulah berbahasa Kaili sehingga mudah dimengerti bagi yang menontonnya, terutama masyarakat di lembah Palu.
Selain di bidang sosial dan seni, masyarakat Kaili juga memiliki kerajinan tangan yang sarat akan budaya. Salah satu kerajinan masyarakat Kaili adalah menenun sarung. Sarung tersebut seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang. Kegiatan menenun sarung ini banyak dilakukan para wanita di daerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo, dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe, tetapi masyarakat umum lebih familiar dengan nama Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif dan warna tenunannya.
Berdasarkan pemaparan mengenai kebudayaan suku Kaili, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, masyarakat Kaili masih memegang teguh tradisi yang menyangkut aspek kehidupan. Kepercayaan lama yang ada dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Kedua, hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak pada kegiatan kehidupan sehari-hari. Ini digambarkan melalui ritual no-Balia dan tarian Pamonte di mana keduanya mengandung semangat kebersamaan dan gotong royong yang disebut Sintuvu. Dan yang ketiga, kebudayaan suku Kaili dapat menjadi hiburan bagi masyarakat. Nilai seni yang tinggi sebagai salah satu kearifan lokal telah mewujudkan ikon budaya yang dapat mempresentasikan eksistensi suku Kaili di mata nasional maupun internasional. Menjaga, merawat, memelihara, serta melestarikan kebudayaan tersebut tentunya menjadi tanggung jawab bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar