Senin, 08 Januari 2018

Keep Calm until 100% Halal

     Ash-shalaatu khairum minan na’uum.
     Suara azan subuh terdengar ke telinga. Aku pamit untuk menunaikan kewajiban sama Zabit, pacarku, di kala ia ingin mengutarakan sesuatu yang penting.
     “ Oke, aku akan menunggumu.” balasnya.
     Dia seagama denganku. Waktu di tempatnya menunjukkan pukul 23.45. Kami terpisah ribuan kilometer dan berbeda zona waktu, yaitu lima jam, sehingga mau tidak mau dia harus menunggu.
     Aku pun segera bergegas untuk shalat subuh dan berdoa semoga apa yang kami harapkan selama ini dapat dikabulkan. Beberapa menit kemudian, ku membalas pesannya.
     “ Aku udah selesai sholat. Apa yang kamu mau bilang?” 
        tanyaku.
     “ Bisa kamu nelpon aku?” tanyanya balik.
     “ Oke, tunggu sebentar.”
 
     Tuut. Suara telepon berbunyi di seberang sana. Kemudian, suara lembut yang selalu aku rindukan setiap hari mengganti suara monoton tadi. 
     “ Assalamu ‘alaikum.”
     “ Wa’alaikum salam.” jawabku.
     “ Qvna, saya sudah membicarakan semuanya kepada
        orang tuaku. Mereka tidak setuju. Mereka tidak
        menerimamu. Aku ingin mengakhiri hubungan ini.
        Terima kasih untuk segalanya. Kita bisa bicara nanti.”
        jelasnya panjang lebar.
     “ Oke.” tutupku singkat. 
     Aku benar-benar shock. Aku tak tahu harus berkata apa. Dada ini terasa begitu sesak, tapi aku tak bisa menangis. Hilang semua harapan aku pada dirinya. Apa ini jawaban atas doa hamba tadi, ya Allah? Hamba masih belum mengerti dengan semua ini. 
     Setelah berusaha menenangkan diri, aku menghubunginya kembali untuk menanyakan apa alasan orang tuanya tidak merestui kami. Ah, alasan klasik! Orang tuanya tidak setuju karena perbedaan suku dan latar belakang keluarga. Apakah dua hal ini memang selalu menjadi masalah bagi sepasang muda-mudi yang ingin menikah? Entahlah. Setidaknya, aku sudah mengetahui apa yang menjadi permasalahan. Aku juga sudah mengetahui ternyata dia benar-benar tidak berniat memperjuangkan hubungan ini, setelah dua kali kami sempat putus-nyambung. 
     Aku pun memutus segala komunikasi sama dia. Aku sudah muak dengan yang namanya pacaran. Terhitung sudah dua kali aku melakukan ini dan selalu berakhir dengan rasa sakit hati. Yang pertama tidak terlalu membekas karena hanya menjalin hubungan sekitar sebulan lebih. Ibrahim kedapatan selingkuh. Yang kedua? Aku dan Zabit berpacaran cukup lama, sekitar setahun lebih. Aku berpikir bagaimana aku bisa move on dari seseorang yang pernah ku sayangi selama itu? 
     Berbulan-bulan aku dirundung galau yang teramat dalam. Hal ini berdampak pada IP-ku yang menurun drastis. Aku benar-benar terpuruk. Untung aku memiliki Dian, sahabat yang selalu menasihati dan memotivasi agar bisa bangkit. 
     “ Tuh, kan. Apa aku bilang? Pacaran itu diharamkan
        karena hanya akan menimbulkan perasaan kepada
        seseorang yang belum halal dan lebih banyak membawa
        kepada ke-mudharat-an. Setelah putus pun kau masih
        terbayang-bayang, kan? Udah, mendingan kamu fokus
        aja ke kuliah. Lihat, tuh! IP kamu turun. Jujur, aku tidak 
        suka melihatmu seperti ini. Mana Qvna yang dulu? Qvna
        yang sekarang kelihatan begitu lemah! Ayo, buktikan 
        kalau kamu bisa atasi masalah ini! Your problem is not 
        bigger than your God!” kata-kata mutiara si Dian. 
     Lalu, aku bertaubat kepada Allah. Aku sangat menyesal telah mencintai seseorang melebihi cintaku pada-Nya. Aku berjanji bahwa aku tak akan berpacaran lagi. In syaa Allah, aku akan istiqamah menunggu dan menjadi single sampai menikah nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar