Minggu, 11 Februari 2018

Jilbabku, Pengubahku

     Masa sekolah adalah masa yang paling membahagiakan dalam hidup. Masa sekolah adalah masa di mana pekerjaan yang ditahu hanya belajar dan bermain. Tidak ada keharusan untuk bekerja, walau hal ini tidak berlaku bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
     Masa sekolah yang paling membahagiakan buatku adalah ketika duduk di bangku SMP. Ketawa-ketiwi tidak jelas dengan teman-teman tiap hari, pulang sekolah sambil gila-gilaan neriakin orang sepanjang jalan, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh para ababil (ABG labil). Bisa disimpulkan saya termasuk golongan ababil pada masa itu. Untunglah kelabilan saya dan teman-teman tidak sampai mengikis norma kesusilaan seperti yang dilakukan oleh para ababil saat ini.
     Saya belum berjilbab pada saat itu. Pengetahuan tentang wajibnya berjilbab juga belum memadai. Walau teman-teman sekelas sudah ada yang berjilbab, namun mereka belum menjadi jilbabers permanen. Sering buka pasang ketika kegerahan di dalam kelas tanpa mempedulikan lawan jenis yang masih bercokol di ruangan. Alhasil, saya menyimpulkan bahwa jilbab hanyalah sekedar topi penutup rambut yang dapat dibuka kapan saja.
     Lambat laun, pandangan tersebut berubah. Berbekal pelajaran Agama Islam dan seringnya mengikuti acara keagamaan di sekolah, saya mulai menghormati teman-teman saya yang non-jilbabers permanen. Setidaknya, mereka satu tingkat ketaatannya di atas saya yang masih membiarkan aurat terlihat di mana-mana. Mungkin pengaruh belum berjilbab juga yang membuat saya menjadi ababil.
     Sejak saat itu, saya meniatkan diri untuk berjilbab selepas SMP. Alhamdulillah, niat itu terealisasi setelah MOS di SMA selesai. Kelabilan semasa SMP perlahan-lahan mulai menghilang. Mungkin karena faktor usia juga yang sudah boleh dikatakan menuju ke usia dewasa. Di SMA inilah saya mulai mempelajari lebih jauh tentang apa itu jilbab.
     Alhamdulillah, pengetahuan mengenai jilbab sudah ada sedikit demi sedikit. Saya menjadi jilbaber permanen di luar rumah. Begitu pula di dalam rumah ketika ada teman-teman yang datang untuk belajar kelompok, walau jilbab yang saya pakai kebanyakan masih di luar syar’i (jilbab sampai di leher).
     Hingga ketika saya kuliah dan mengikuti tarbiyah, saya mulai mengetahui konsep mengenai jilbab syar’i. Selama ini yang saya tutupi hanya sebatas bagian atas. Adapun bagian ke bawah belum tertutupi, dalam artian secara syar’i. Sebelum tarbiyah, saya sudah menggunakan jilbab yang agak panjang menutupi dada, tapi masih menggunakan baju yang sedikit ketat dan celana jeans.
     Alhamdulillah, setelah sering mengikuti tarbiyah perlahan-lahan saya mulai mengubah cara dalam berpenampilan dan berhias. Mengurangi pemakaian baju yang ketat, lebih sering menggunakan rok, dan tidak memakai parfum secara berlebihan. Dari segi perilaku alhamdulillah juga sudah bertambah kalem dan menjaga jarak dengan lawan jenis, walaupun masih sering bercanda berlebihan dengan yang bukan mahram.
     Sampai detik ini, saya masih dalam proses berjilbab syar’i. In syaa Allah dapat diterapkan secara total ke depannya. Jilbabku telah menjadi pengubahku, dari yang ababil (ABG labil) menjadi akabil (akhwat stabil) ☺



Tidak ada komentar:

Posting Komentar