Sabtu, 28 September 2019

Setahun LGBT di Pasigala: Sejauh Mana Tindak Lanjutnya?

Pada tanggal 28 September 2018, daerah Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala) dilanda tiga bencana alam sekaligus, yaitu LGBT (Likuifaksi, Gempa Bumi, dan Tsunami). Menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu[1], LGBT menimbulkan korban jiwa sebanyak 4.194 orang (2.608 meninggal dunia, 570 hilang, dan 1.016 tidak teridentifikasi) dan merusak 55.102 rumah.
Saat mengetahui kabar adanya bencana LGBT, saya segera menghubungi keluarga di Palu. Saya sungguh khawatir, terlebih kala itu saya berada di Malang untuk melanjutkan studi S2. Jaringan telekomunikasi yang terputus membuat saya harus menunggu selama tiga hari untuk memastikan mereka baik-baik saja. Saya juga tidak bisa pergi ke sana karena Bandara Mutiara Sis Al-Jufri ditutup selama 24 jam dan diprioritaskan untuk pendaratan pesawat-pesawat pengirim bantuan. Keluarga saya lalu menuju Makassar melalui jalur darat.

Kondisi Pascabencana
Pada akhir bulan Desember 2018, saya pergi ke Palu setelah urusan perkuliahan selesai. Di dalam pesawat, saya melihat sebagian bangunan telah rata dengan tanah. Ketika mendarat, saya disambut oleh landasan pacu yang retak, kertas bertuliskan “Pintu Kedatangan” pengganti papan petunjuk, plafon bandara yang roboh, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Saya tidak kuasa membayangkan bagaimana paniknya orang-orang ketika gempa bumi berkekuatan 7,7 SR terjadi. 


                      
Kerusakan di dalam Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu (Tribunnews.com)[2]


Kurang lebih seminggu kemudian, saya mengunjungi daerah Petobo yang menjadi lokasi likuifaksi (pencairan tanah). Jalanan yang terbelah, rumah-rumah yang tenggelam, dan pepohonan yang tumbang membuat saya beristigfar selama bernapak tilas. Bahkan, saya mendapati rumah yang ruang tamunya masih utuh, tetapi atap dan dindingnya tidak ada.

                                   
Kondisi Petobo setelah likuifaksi (dok. pribadi)

Selanjutnya, saya menyambangi kawasan Pantai Talise yang diterjang tsunami. Anjungan Nusantara, Taman Ria, dan Jembatan Ponulele telah menjadi puing-puing kenangan. Hanya Masjid Raya Baiturrahim saja yang masih berdiri, walau fondasi penyangganya hancur terbawa ombak.

                              
                       Masjid Raya Baiturrahim (dok. pribadi)          

Tindakan Lebih Lanjut
Foto-foto di atas cukup memberikan gambaran betapa besarnya bencana yang telah terjadi di Pasigala. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan tentunya menyisakan trauma yang mendalam bagi para penyintas hingga hari ini. Lantas, apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah provinsi Sulawesi Tengah, guna rehabilitasi dan rekonstruksi setahun  setelah bencana LGBT?
Melansir dari CNN Indonesia[3], pemerintah provinsi Sulawesi Tengah masih memverifikasi data-data warga yang berhak menerima hunian tetap (huntap) sebelum diserahkan ke pemerintah pusat. Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah juga masih mengharapkan bantuan dari semua pihak untuk pembangunan huntap yang mencapai ribuan unit. Tidak hanya itu, pemerintah setempat mengingatkan masyarakat terkait ancaman gempa megathrust dan tsunami puluhan tahun mendatang[4].
Adapun sosialisasi mengenai potensi gempa yang sebenarnya terprediksi harus digencarkan, sehingga masyarakat tidak bermukim lagi di area rawan gempa, seperti Petobo yang berada tepat di atas sesar Palu-Koro (sesar yang paling aktif di Indonesia). Budaya sadar bencana di masyarakat sendiri juga perlu ditingkatkan, mengingat adanya kasus pencurian buoy (pendeteksi tsunami) yang menyebabkan peringatan dini tsunami tidak akurat[5]. Kurangnya budaya ini jelas memberikan dampak yang fatal.
Untuk meminimalisir risiko bencana, selayaknya pemerintah provinsi Sulawesi Tengah harus menindak keras pelaku vandalisme di fasilitas-fasilitas pendeteksi bencana. Selain itu, pemerintah setempat perlu menghimbau warga atau developer perumahan yang masih bandel untuk membangun tempat tinggal di zona terlarang. Mitigasi bencana deformasi sesar di permukaan dan revisi peta seismic hazard juga tidak kalah penting, sehingga kita dapat kenali bahayanya, kurangi risikonya. Dengan demikian, kita akan lebih siap untuk selamat dalam menghadapi bencana.

Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar