Minggu, 14 April 2019

Menyoroti Permasalahan Kualitas Jaringan Internet di Ruang Publik Indonesia

     Internet telah menjadi kebutuhan generasi masa kini. Hampir semua orang di dunia menggunakannya. Kebutuhan akan internet bahkan setara dengan kebutuhan akan air dan listrik. Tidaklah mengherankan jika istilah Internet of Things menjadi familiar belakangan ini – sebuah konsep yang bertujuan untuk mengintegrasikan benda-benda di dunia nyata dengan internet.
     Salah satu teknologi yang digunakan IoT adalah Wi-Fi. Wi-Fi merupakan cara yang paling populer untuk bertukar data secara nirkabel di dalam area tertentu, sehingga Wi-Fi juga banyak digunakan di ruang publik. Koneksinya yang lebih stabil daripada data seluler membuat orang-orang ramai menggunakannya.
      Saya termasuk salah satu pengguna layanan Wi-Fi secara gratis, mulai dari kampus, kafe, hingga bandara. Masing-masing tempat memberi kesan tersendiri dengan layanan yang diberikan.
    Pertama, di area kampus, tepatnya di Universitas Brawijaya, layanan Wi-Fi yang disediakan cukup memuaskan. Bandwidth-nya yang sebesar 6,4 Gbps mampu menghasilkan koneksi yang cepat. Selain itu, tiap fakultas memiliki jaringan masing-masing agar server tidak cepat down. Untuk terhubung ke layanan, saya login dengan memasukkan username berupa NIM (Nomor Induk Mahasiswa) dan password. Adapun untuk umum dapat menggunakan akun pengguna tamu.
      Kedua, di area kafe. Rata-rata kecepatan koneksi internet di kafe berbanding terbalik dengan jumlah pengunjung. Jika pengunjung kafe sedikit, maka koneksi internetnya cepat. Begitu pula sebaliknya, walaupun bandwidth yang digunakan cukup besar. Karena hal ini, terkadang saya mengandalkan jaringan 4G di ponsel ketimbang menggunakan jaringan Wi-Fi.
      Ketiga, di area bandara. Akses internet di tempat ini juga kurang memuaskan. Bukan masalah koneksi, melainkan password Wi-Fi. Kurangnya informasi perihal password membuat saya hampir tidak pernah menggunakan layanan Wi-Fi ketika berada di sana, sehingga saya pun menggunakan jaringan di ponsel untuk browsing sana-sini.
      Syukurlah, saya belum pernah mendapati serangan virus selama mengakses internet di ruang publik. Banyak fakta yang mengungkapkan bahwa akses internet gratis dapat memungkinkan server penyedia me-monitoring komputer kita, bahkan dapat menyusup ke dalam komputer. Film Who Am I: No System is Safe, film tentang hacker buatan Jerman, menggambarkan hal ini di salah satu adegannya, di mana geng The Clay menggunakan jaringan Wi-Fi tiruan untuk mengganti isi presentasi anggota partai baru pemilu Jerman dengan video animasi Hitler yang cukup memalukan.
   Berdasarkan pengalaman-pengalaman di atas, dapat saya simpulkan bahwa kualitas internet di ruang publik Indonesia belum sepenuhnya memadai. Hal ini selaras dengan fakta yang saya lansir dari CNN Indonesia, di mana rata-rata kecepatan internet di Indonesia  (15,5 Mbps) berada di peringkat 42 dari 46 negara, sedangkan rata-rata kecepatan internet di dunia sebesar 54,3 Mbps. Sungguh fakta yang miris. Selain itu, kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan beragam kontur geologi juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas internet di ruang publik.
       Untuk menyikapi permasalahan tersebut, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki infrastruktur yang ada, seperti kabel optik dan tiang pemancar. Walaupun harganya sangat mahal, kualitas internet yang dihasilkan akan sangat memadai. Solusi lainnya adalah pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap provider internet, karena sebagian besar provider internet masih menggunakan sistem nirkabel untuk pengiriman data, yang notabene lebih lambat daripada serat optik. Hal ini termasuk bisnis capital intensive, di mana membutuhkan modal yang banyak dan teknologi yang mendukung. Dengan demikian, apabila pemerintah menerapkan solusi-solusi ini, niscaya kualitas jaringan internet di ruang publik Indonesia akan mengalami peningkatan yang signifikan.


1 komentar: