Sebagian
masyarakat Indonesia boleh dikata tidak peduli terhadap keterbengkalaian sumber
daya alam. Urusan olah mengolah sumber daya alam hanya untuk mereka yang tahu
saja. Masyarakat yang apatis hanya memikirkan bagaimana bisa hidup dengan
senang, terutama dengan cara instan, tanpa perlu repot-repot melakukan sesuatu
yang ribet. Tidaklah mengherankan jika banyak yang terjerumus ke dalam lembah
kejahatan, terutama korupsi. Korupsi merupakan
salah satu penyebab sebagian masyarakat Indonesia hidup di bawah garis
kemiskinan, selain faktor-faktor pelengkap yang mendukung kemiskinan itu.
Saat ini, dunia
pemberitaan Indonesia dipenuhi dengan kasus-kasus mengenai korupsi.
Berita-berita yang sungguh membuat dada begitu sesak menyaksikan beratus-ratus
milyar uang negara yang dikorupsi. Berita-berita yang dipenuhi oleh wajah senyum
tanpa bersalah para pejabat si pengerat uang negara. Sepertinya tiada hari
tanpa korupsi di Indonesia. Sepertinya dunia pemberitaan hampir berada di titik
maksimal kejenuhan dikarenakan pemberitaan mengenai korupsi yang tiada
habisnya.
Korupsi merupakan
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang layak diberi hukuman
berat. Berbicara mengenai hukum, untuk kasus korupsi sangatlah berbelit-belit. Ada
kasus yang membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan untuk mengusutnya. Bahkan,
ada juga kasus di mana si terdakwa telah tertangkap tetapi belum diberikan
vonis. Apakah itu karena pasal-pasal untuk menjerat si tersangka masih dianggap
belum kuat, bukti-bukti yang kurang mendukung statusnya sebagai tersangka, atau
mungkin lambannya kinerja dari penyidik?
Namun, setelah
pengusutan selesai hukuman yang diberikan malah relatif ringan dan tidak
sebanding dengan kerugian uang negara. Dari pemberitaan hukumannya hanya
berkisar dua sampai dengan empat tahun penjara. Seharusnya, seseorang yang
melakukan kejahatan besar harus mendapat hukuman yang berat pula. Apa yang
dilakukan harus sebanding dengan apa yang didapat. Pada kenyataannya, hal tersebut berbanding terbalik.
Perbandingan terbalik tidak hanya pada kasus
korupsi. Hal ini juga terdapat pada kasus pencurian biasa. Seorang warga
mencuri sandal seharga tiga puluh ribuan rupiah dikenai hukuman lima tahun
penjara tanpa ampun. Bayangkan, lima tahun penjara karena tiga puluh ribu
ripuah? Sungguh ironis. Bagi para
koruptor, uang dengan jumlah demikian hanya
dianggap recehan sehingga mereka tak tanggung-tanggung memenuhi nafsu syahwat
untuk memiliki kekayaan melimpah dengan korupsi. Lima tahun dengan barang curian
yang tidak sampai harga
lima puluh ribuan kontras
sekali dengan dua-empat tahun untuk hasil korupsi bermilyar-milyar.
Negara
kita adalah negara dengan sistem politik demokratis, demokrasi Pancasila. Menurut
S. Pamudji dalam bukunya “Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional”, salah
satu aspek yang terkandung dalam demokrasi pancasila itu adalah aspek optatif.
Aspek optatif ini mengetengahkan tujuan atau keinginan yang hendak dicapai.
Tujuan ini meliputi tiga hal yaitu terciptanya negara hukum, negara
kesejahteraan, dan negara kebudayaan. Untuk negara kebudayaan, Indonesia tidak
perlu diragukan lagi mengingat banyaknya kebudayaan yang ada. Namun, untuk
negara hukum apalagi negara kesejahteraan patut dipertanyakan sudah sejauh mana
usaha pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan tersebut mengingat penegakan
hukum di Indonesia masih kurang adil,
terutama
untuk kasus korupsi, sehingga berimbas secara tidak langsung terhadap kesejahteraan.
Pemerintah
Indonesia bisa saja meminimalisir kasus
korupsi dengan menerapkan pola hukum yang berbeda.
Pemerintah Indonesia dapat mencontohi negara Cina. Cina yang masih tetap menerapkan
sistem politik otoriter dan sentralistik memiliki penanganan kasus korupsi
lebih maju dari Indonesia yang menganut sistem politik demokratis. Penanganan
tersebut memberikan sedikit shock therapy
kepada orang-orang yang berniat untuk korupsi. Cina memvonis hukuman mati
terhadap orang-orang yang terbukti sebagai koruptor. Dari catatan tahun 2008
lalu, menurut informasi sudah sekitar 1700 orang yang dinyatakan bersalah dalam
kasus korupsi dan dihukum mati. Mungkin sekarang jumlahnya lebih banyak lagi mengingat
Cina sendiri mengakui bahwa hukuman itu belum sepenuhnya efektif untuk membabat
habis korupsi sampai ke akar-akarnya.
Wacana mengenai
hukuman mati ini telah banyak dikoarkan oleh pihak-pihak yang prihatin terhadap
kasus korupsi yang melanda Indonesia. Mereka beranggapan bahwa hukuman mati
sangat pantas untuk perenggut kesejahteraan banyak orang ini. Perealisasian
hukuman mati dengan baik harus menerapkan sistem hukum yang didukung dengan
kemauan yang kuat dari pemerintah. Namun, pihak-pihak yang fanatik dengan HAM
berpendapat bahwa hukuman mati tidak efisien untuk memberantas korupsi. Selain
melanggar hak untuk hidup karena koruptor juga manusia, hukuman mati ini
dianggap sebagai penutup kasus yang mungkin saja masih ada pihak di luar sana yang
belum sempat tercium keterlibatannya oleh pihak berwenang.
Apa salahnya
mencoba? Seseorang tidak pernah tahu jika tidak pernah mencoba, bukan? Apabila aparat penegak
hukum tidak berani menjatuhkan hukuman mati, niscaya praktik korupsi akan terus
berjalan mengingat hukuman yang sekarang diberikan relatif ringan. Apakah aparat
yang terhormat rela mengorbankan kesejahteraan masyarakat banyak hanya demi nyawa para koruptor?
Apakah aparat penegak hukum sudah tidak sanggup lagi membantu pemerintah untuk memenuhi
tujuan daripada demokrasi Pancasila, yakni menciptakan negara hukum dan negara
kesejahteraan, yang
belum tercapai sesuai harapan?
Selain pemerintah,
masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam
pemberantasan korupsi. Masyarakat dapat melaporkan ke pihak yang berwenang
apabila menemui sesuatu yang mengarah ke korupsi. Iman juga perlu ditingkatkan
agar masyarakat segan untuk korupsi dari skala kecil hingga ke skala yang
besar.
Untuk global,
dunia pun punya peran dalam membantu pemerintah Indonesia dengan cara mem-black list
para koruptor yang kabur ke negaranya.
Tentunya ini memerlukan koordinasi yang baik dengan pemerintah Indonesia.
Negara-negara yang disinggahi para koruptor dari Indonesia diharapkan segera
mengekstradisi “tikus-tikus” tersebut kembali ke habitatnya untuk diproses
sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Dengan demikian,
apabila ketiga komponen di atas, yakni masyarakat, pemerintah, dan dunia
menjalankan peranannya
dengan baik niscaya koruptor tidak akan lagi berani memunculkan batang
hidungnya atau bahkan lenyap sama sekali di Indonesia. Banyak uang negara yang
akan terselamatkan. Jika
hal itu tercapai, insya Allah potret Indonesia tahun 2019 tidak akan sesuram
potret tahun-tahun lalu. Indonesia dapat mewujudkan tujuan berdirinya negara
hukum, negara kesejahteraan, dan negara budaya yang baik. Indonesia akan menjadi salah
satu negara yang paling banyak dikunjungi penduduk dunia setiap saat. Indonesia
akan seindah cerita orang-orang luar sesuai realita di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar