Internet telah menjadi kebutuhan generasi
masa kini. Hampir semua orang di dunia menggunakannya. Kebutuhan akan internet
bahkan setara dengan kebutuhan akan air dan listrik. Tidaklah mengherankan jika
istilah Internet of Things menjadi
familiar belakangan ini – sebuah konsep yang bertujuan untuk mengintegrasikan benda-benda
di dunia nyata dengan internet.
Salah satu teknologi
yang digunakan IoT adalah Wi-Fi. Wi-Fi merupakan cara yang paling populer untuk
bertukar data secara nirkabel di dalam area tertentu, sehingga Wi-Fi juga
banyak digunakan di ruang publik. Koneksinya yang lebih stabil daripada data
seluler membuat orang-orang ramai menggunakannya.
Saya termasuk
salah satu pengguna layanan Wi-Fi secara
gratis, mulai dari kampus, kafe, hingga bandara. Masing-masing tempat memberi
kesan tersendiri dengan layanan yang diberikan.
Pertama, di
area kampus, tepatnya di Universitas Brawijaya, layanan Wi-Fi yang disediakan
cukup memuaskan. Bandwidth-nya yang sebesar
6,4 Gbps mampu menghasilkan koneksi yang cepat. Selain itu, tiap fakultas memiliki
jaringan masing-masing agar server tidak
cepat down. Untuk terhubung ke
layanan, saya login dengan memasukkan
username berupa NIM (Nomor Induk
Mahasiswa) dan password. Adapun untuk
umum dapat menggunakan akun pengguna tamu.
Kedua, di area
kafe. Rata-rata kecepatan koneksi internet di kafe berbanding terbalik dengan jumlah
pengunjung. Jika pengunjung kafe sedikit, maka koneksi internetnya cepat. Begitu
pula sebaliknya, walaupun bandwidth yang
digunakan cukup besar. Karena hal ini, terkadang saya mengandalkan jaringan 4G
di ponsel ketimbang menggunakan jaringan Wi-Fi.
Ketiga, di area
bandara. Akses internet di tempat ini juga kurang memuaskan. Bukan masalah
koneksi, melainkan password Wi-Fi.
Kurangnya informasi perihal password membuat
saya hampir tidak pernah menggunakan layanan Wi-Fi ketika berada di sana, sehingga
saya pun menggunakan jaringan di ponsel untuk browsing sana-sini.
Syukurlah, saya belum pernah mendapati serangan
virus selama mengakses internet di ruang publik. Banyak fakta yang
mengungkapkan bahwa akses internet gratis dapat memungkinkan server penyedia me-monitoring komputer kita, bahkan dapat menyusup ke dalam komputer.
Film Who Am I: No System is Safe,
film tentang hacker buatan Jerman, menggambarkan
hal ini di salah satu adegannya, di mana geng The Clay menggunakan jaringan Wi-Fi tiruan untuk mengganti isi presentasi
anggota partai baru pemilu Jerman dengan video animasi Hitler yang cukup memalukan.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman di atas, dapat saya simpulkan bahwa kualitas internet di ruang publik Indonesia
belum
sepenuhnya memadai. Hal ini selaras dengan fakta yang saya lansir dari CNN Indonesia,
di mana rata-rata kecepatan internet di Indonesia (15,5 Mbps) berada di peringkat 42 dari
46 negara, sedangkan rata-rata kecepatan internet di dunia sebesar 54,3 Mbps. Sungguh fakta yang miris. Selain itu,
kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan beragam kontur
geologi juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk meningkatkan
kualitas internet di ruang publik.
Untuk
menyikapi permasalahan tersebut, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan
memperbaiki infrastruktur yang ada, seperti kabel optik dan tiang pemancar.
Walaupun harganya sangat mahal, kualitas internet yang dihasilkan akan sangat
memadai. Solusi lainnya adalah pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap provider internet, karena sebagian besar provider internet masih menggunakan sistem nirkabel untuk pengiriman data, yang notabene lebih lambat daripada serat optik. Hal ini termasuk bisnis capital intensive, di mana membutuhkan modal yang banyak dan teknologi yang mendukung. Dengan
demikian, apabila pemerintah menerapkan solusi-solusi ini, niscaya kualitas jaringan internet di ruang publik
Indonesia akan mengalami peningkatan yang signifikan.
boh
BalasHapus