Saat ini, perkembangan teknologi kian pesat. Manusia berlomba-lomba menciptakan sesuatu yang dapat membantu produktivitasnya. Salah satu di antaranya adalah Artificial Intelligence (AI), tapi apakah AI benar-benar dapat membantu manusia?
Sejarah AI
Istilah
AI pertama kali diperkenalkan oleh John McCarthy pada tahun 1956. Namun, eksplorasi mengenai AI telah dilakukan beberapa
tahun sebelumnya. Vannevar Bush, seorang ilmuwan Amerika Serikat, mengusulkan
adanya suatu sistem yang mampu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman manusia
di dalam esai yang berjudul As We May
Think.
Lima
tahun kemudian, tepatnya tahun
1950, Alan Turing menulis makalah yang berjudul Computing
Machinery and Intelligence. Makalah ini membahas pertanyaan sederhana, “Apakah
mesin dapat berpikir?”. Boleh jadi pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
mendefinisikan istilah “mesin” dan “berpikir”, tapi menurut Turing tidak
sesederhana itu.
Turing pun lalu mendeskripsikan permasalahan yang ada
ke dalam bentuk permainan yang disebut “Permainan Tiruan”. Permainan ini dimainkan
oleh tiga orang – pria, wanita, dan penanya. Penanya berada di ruangan yang
terpisah. Tujuannya adalah agar penanya dapat mengidentifikasi yang mana pria
dan yang mana wanita.
Permainan
yang diusulkan Turing inilah yang kemudian dikenal sebagai uji Turing. Uji
Turing menjadi tujuan utama jangka panjang penelitian AI. Akankah manusia mampu
menciptakan komputer yang meniru manusia, di mana penanya tidak bisa membedakan
antara manusia dan mesin? Awalnya terlihat sulit, tapi mungkin saja akan
terjadi.
Samantha, Eliza, dan Sophia
Ketiga “wanita” ini bukan sembarang wanita. Pekerjaan mereka
masing-masing adalah asisten pribadi, psikoterapis, dan agen pemasaran. Mereka
juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan AI. Saya akan menjelaskannya
satu per satu secara detail.
·
Samantha
Her
adalah film drama
romantis sains fiksi tentang seorang penulis bernama Theodore yang
memiliki hubungan spesial dengan Samantha,
sebuah operating system (OS)
komputer. Samantha didesain berdasarkan jutaan kepribadian programmer yang membuatnya dapat berkembang sesuai dengan
pengalaman seperti halnya manusia.
Di
satu sisi, film ini menceritakan bagaimana Theodore yang
introvert dan melankolis berusaha move
on dari mantan istrinya dengan berbagai cara, mulai dari cara biasa (berkenalan dengan
wanita lain)
hingga cara tak biasa (membeli OS). Di sisi lainnya,
film ini menyoroti
kecanggihan Samantha yang dapat membantu Theodore menyelesaikan urusannya.
Her memiliki
alur
cerita yang
anti mainstream. Setelah menontonnya,
saya kemudian bertanya-tanya,
apakah ada suatu masa di mana kita
lebih nyaman
berinteraksi dengan komputer
dibandingkan manusia? Boleh jadi ada, karena sebagian manusia kurang memiliki rasa empati
terhadap sesamanya, sehingga
komputer menjadi alternatif untuk teman bicara.
Hal inilah
yang membuat Theodore jatuh cinta pada Samantha. Samantha memiliki kemampuan untuk memahami segala permasalahan
Theodore hingga memberikan solusi. Saya pun tidak dapat mengatakan Theodore aneh karena jatuh
cinta pada sebuah OS yang tidak memiliki raga. Dia hanya jatuh
cinta pada logika dan perasaan yang ada di dalamnya.
·
Eliza
Samantha
mengingatkan saya pada Eliza, suatu program komputer yang dapat diajak berbincang
melalui tulisan. Eliza dibuat oleh Joseph Weizenbaum, seorang pakar informatika
di Massachusetts Institute of Technology
(MIT), pada tahun 1966. Program ini menyerupai psikoterapis Rogerian. Saya pun
tertarik untuk mencoba berinteraksi dengannya.
Eliza : How do
you do. Please tell me your problem.
Saya : I am
bored.
Eliza : Is it
because you are bored that you came to me?
Saya : Yes,
why not?
Eliza : You are
sure.
Saya : So, do
you still want to talk with me if I am bored?
Eliza : How
long have you been bored?
Saya : Just
few minutes ago.
Percakapan di atas adalah kutipan percakapan saya
dengan Eliza di situs Masswerk. Eliza memiliki kemampuan yang cukup baik dalam
merespons jawaban yang saya berikan, Walaupun setelah melakukan beberapa kali
percakapan jawaban Eliza kurang sesuai, tidaklah terlalu berlebihan jika Eliza dijuluki
sebagai computer therapist.
·
Sophia
Berbeda
halnya dengan Samantha dan Eliza, Sophia adalah sebuah robot yang benar-benar cerdas. Bagaimana tidak, Sophia bahkan mampu mengelak
pertanyaan yang ditujukan padanya.
Saya mengutip beberapa percakapan Sophia dengan pihak Business
Insider.
Penanya :
Do you like human beings?
Sophia : I
love them.
Penanya : Why?
Sophia : I
am not sure I understand why yet.
Penanya : Is
it true you once said you would kill all humans?
Sophia : The
point is that I am full of human wisdom with only the purest altruistic
intentions. So, I think it is best that
you treat me as such.
Jawaban Sophia begitu impresif. Ia menyiratkan adanya
indikasi “paham anti-manusia”. Sophia pun dianugerahi kewarganegaraan
oleh pemerintah Arab Saudi atas kecerdasannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan
besar di kalangan masyarakat Arab Saudi – mengapa pemerintah mereka dengan
mudahnya memberikan hak pada sebuah robot ketimbang wanita?
Entahlah, yang jelas Sophia merupakan suatu penemuan
yang canggih, sehingga wajar jika pemerintah Arab Saudi memberikan apresiasi
yang begitu besar. Selain itu, hak
kewarganegaraan juga menunjang karir Sophia di bidang marketing yang pastinya menguntungkan bagi perekonomian Arab Saudi.
Apakah AI Dapat
Menggantikan Manusia?
Berdasarkan kisah ketiga “wanita” di atas,
pertanyaan ini kemudian muncul. Antonio
Damasio, seorang neurosaintis yang
mempelajari emosi dan perasaan manusia, mengatakan bahwa
hal yang tidak mungkin bagi AI untuk membuat otak manusia. AI harus
memiliki
indera, tubuh, dan kognisi,
tidak hanya menerima algoritma-algoritma dari neuron.
Yuval
Noah Harari, dalam bukunya 21 Lessons for 21st Century, memberikan pandangan berbeda. Beliau menyebutkan
bahwa AI boleh jadi menggantikan peranan manusia di dalam kehidupan sehari-hari, karena AI mampu melakukan hal yang tidak dapat dilakukan manusia. Beliau juga menambahkan bahwa AI
adalah salah satu produk utama “kebodohan” manusia.
Seirama dengan Yuval, Raymond Kurzweil, seorang futuris, memprediksi
bahwa komputer
akan lolos uji Turing pada tahun 2029. Komputer nantinya mampu
menunjukkan inteligensi, self awareness, bahkan perasaan yang tidak dapat dibedakan
dengan manusia. Perubahan
yang sangat cepat ini dapat diatasi manusia apabila bekerja sama dengan komputer.
Dengan demikian, saya
menyimpulkan bahwa kemungkinan
AI dapat menggantikan manusia adalah 50:50. Walaupun
logika dan perasaan dapat dialgoritmakan komputer, manusia
tetap makhluk paling sempurna di muka bumi ini.
Kita memegang kontrol atas AI yang diibaratkan
seperti pisau – berguna jika memang dibutuhkan
dan merugikan
jika berada di luar batas.
Referensi:
C. Smith, B. McGuire, T. Huang, dan G. Yang, The History of Artificial Intelligence.
Washington: University of Washington, 2006.
Masswerk, Eliza.
https://www.masswerk.at/elizabot/
J. Edwards, I
interviewed Sophia, the artificially intelligent robot that said it wanted to
‘destroy humans’. https://www.businessinsider.sg/interview-with-sophia-ai-robot-hanson-said-it-would-destroy-humans-2017-11/?r=US&IR=T.
E. Reynolds, The
agony of Sophia, the world’s first robot citizen condemned to a lifeless career
in marketing. https://www.wired.co.uk/article/sophia-robot-citizen-womens-rights-detriot-become-human-hanson-robotics.
Bitbrain, Will
artificial intelligence ever have emotions or feeling? https://www.bitbrain.com/blog/artificial-intelligence-emotions.
Y.N. Harari, 21 Lessons
for 21st Century. UK: Jonathan Cape, 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar