Assalamu 'alaikum. Dear readers, kali ini saya ingin berbagi pengetahuan mengenai astronomi. Semoga bermanfaat ^_^
»»
Minggu, 28 April 2019
Minggu, 21 April 2019
Esensi Hari Kartini di Era Modern
Tanggal
21 April adalah salah satu hari istimewa bagi bangsa Indonesia. Berbagai daerah
merayakannya setiap tahun melalui lomba
fashion show dan lomba lainnya. Euforia perayaan benar-benar terlihat pada hari ini.
Kartini,
seseorang yang dikenal karena perjuangannya dalam hal emansipasi wanita, lahir
pada tanggal tersebut, tepatnya pada tahun 1879. Beliau terlahir dari kalangan
priyayi atau bangsawan Jawa. Namun, beliau tidak menyukai budaya sukunya
sendiri karena dianggap menghambat kemajuan perempuan. Kondisi sosial saat itu
mengharuskan perempuan Jawa dipingit, tidak bebas bersekolah, dan
dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal. Oleh karena itu, beliau
menuangkan pemikiran-pemikiran mengenai masalah perempuan pribumi ke dalam
surat-suratnya yang menarik perhatian masyarakat Belanda.
Kartini
telah mengangkat derajat wanita Indonesia secara tidak langsung. Di era modern
ini, banyak perempuan Indonesia yang bersekolah. Bukan hanya di tingkat dasar,
melainkan bersekolah sampai menjadi profesor. Selain itu, banyak perempuan yang
memegang peranan penting di pemerintahan, mulai dari lurah hingga presiden, sehingga
wilayah yang bisa diakses oleh perempuan tidak hanya rumah saja.
Hari
lahir Kartini layak diperingati, tapi tidak hanya sekadar peringatan maupun
perayaan. Hari Kartini dapat menjadi ajang untuk perenungan diri, terutama bagi
kaum wanita. Walaupun pendidikan yang dimiliki sudah tinggi, namun wanita
tetaplah seorang wanita. Ada hal-hal yang hanya bisa dikerjakan oleh lelaki. Sejatinya,
Kartini hanya ingin mengangkat derajat wanita melalui pendidikan, bukan dengan
doktrin kesetaraan gender seperti yang sering digaungkan oleh kaum feminis.
Terkadang, prinsip emansipasi yang diusung Kartini menjadi kabur dengan adanya
doktrin tersebut.
Dengan demikian, Hari
Kartini ke depannya tidak melulu hanya soal perayaan di berbagai daerah saja. Kaum
wanita yang ada saat ini dapat mengambil hikmah dari perjalanan hidup beliau
dengan memanfaatkan pendidikan yang telah dimiliki sebaik mungkin demi
kecerdasan anak-anak bangsa.
Minggu, 14 April 2019
Menyoroti Permasalahan Kualitas Jaringan Internet di Ruang Publik Indonesia
Internet telah menjadi kebutuhan generasi
masa kini. Hampir semua orang di dunia menggunakannya. Kebutuhan akan internet
bahkan setara dengan kebutuhan akan air dan listrik. Tidaklah mengherankan jika
istilah Internet of Things menjadi
familiar belakangan ini – sebuah konsep yang bertujuan untuk mengintegrasikan benda-benda
di dunia nyata dengan internet.
Salah satu teknologi
yang digunakan IoT adalah Wi-Fi. Wi-Fi merupakan cara yang paling populer untuk
bertukar data secara nirkabel di dalam area tertentu, sehingga Wi-Fi juga
banyak digunakan di ruang publik. Koneksinya yang lebih stabil daripada data
seluler membuat orang-orang ramai menggunakannya.
Saya termasuk
salah satu pengguna layanan Wi-Fi secara
gratis, mulai dari kampus, kafe, hingga bandara. Masing-masing tempat memberi
kesan tersendiri dengan layanan yang diberikan.
Pertama, di
area kampus, tepatnya di Universitas Brawijaya, layanan Wi-Fi yang disediakan
cukup memuaskan. Bandwidth-nya yang sebesar
6,4 Gbps mampu menghasilkan koneksi yang cepat. Selain itu, tiap fakultas memiliki
jaringan masing-masing agar server tidak
cepat down. Untuk terhubung ke
layanan, saya login dengan memasukkan
username berupa NIM (Nomor Induk
Mahasiswa) dan password. Adapun untuk
umum dapat menggunakan akun pengguna tamu.
Kedua, di area
kafe. Rata-rata kecepatan koneksi internet di kafe berbanding terbalik dengan jumlah
pengunjung. Jika pengunjung kafe sedikit, maka koneksi internetnya cepat. Begitu
pula sebaliknya, walaupun bandwidth yang
digunakan cukup besar. Karena hal ini, terkadang saya mengandalkan jaringan 4G
di ponsel ketimbang menggunakan jaringan Wi-Fi.
Ketiga, di area
bandara. Akses internet di tempat ini juga kurang memuaskan. Bukan masalah
koneksi, melainkan password Wi-Fi.
Kurangnya informasi perihal password membuat
saya hampir tidak pernah menggunakan layanan Wi-Fi ketika berada di sana, sehingga
saya pun menggunakan jaringan di ponsel untuk browsing sana-sini.
Syukurlah, saya belum pernah mendapati serangan
virus selama mengakses internet di ruang publik. Banyak fakta yang
mengungkapkan bahwa akses internet gratis dapat memungkinkan server penyedia me-monitoring komputer kita, bahkan dapat menyusup ke dalam komputer.
Film Who Am I: No System is Safe,
film tentang hacker buatan Jerman, menggambarkan
hal ini di salah satu adegannya, di mana geng The Clay menggunakan jaringan Wi-Fi tiruan untuk mengganti isi presentasi
anggota partai baru pemilu Jerman dengan video animasi Hitler yang cukup memalukan.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman di atas, dapat saya simpulkan bahwa kualitas internet di ruang publik Indonesia
belum
sepenuhnya memadai. Hal ini selaras dengan fakta yang saya lansir dari CNN Indonesia,
di mana rata-rata kecepatan internet di Indonesia (15,5 Mbps) berada di peringkat 42 dari
46 negara, sedangkan rata-rata kecepatan internet di dunia sebesar 54,3 Mbps. Sungguh fakta yang miris. Selain itu,
kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan beragam kontur
geologi juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk meningkatkan
kualitas internet di ruang publik.
Untuk
menyikapi permasalahan tersebut, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan
memperbaiki infrastruktur yang ada, seperti kabel optik dan tiang pemancar.
Walaupun harganya sangat mahal, kualitas internet yang dihasilkan akan sangat
memadai. Solusi lainnya adalah pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap provider internet, karena sebagian besar provider internet masih menggunakan sistem nirkabel untuk pengiriman data, yang notabene lebih lambat daripada serat optik. Hal ini termasuk bisnis capital intensive, di mana membutuhkan modal yang banyak dan teknologi yang mendukung. Dengan
demikian, apabila pemerintah menerapkan solusi-solusi ini, niscaya kualitas jaringan internet di ruang publik
Indonesia akan mengalami peningkatan yang signifikan.
Minggu, 07 April 2019
Ketika Logika dan Perasaan Teralgoritmekan
Saat ini, perkembangan teknologi kian pesat. Manusia berlomba-lomba menciptakan sesuatu yang dapat membantu produktivitasnya. Salah satu di antaranya adalah Artificial Intelligence (AI), tapi apakah AI benar-benar dapat membantu manusia?
Sejarah AI
Istilah
AI pertama kali diperkenalkan oleh John McCarthy pada tahun 1956. Namun, eksplorasi mengenai AI telah dilakukan beberapa
tahun sebelumnya. Vannevar Bush, seorang ilmuwan Amerika Serikat, mengusulkan
adanya suatu sistem yang mampu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman manusia
di dalam esai yang berjudul As We May
Think.
Lima
tahun kemudian, tepatnya tahun
1950, Alan Turing menulis makalah yang berjudul Computing
Machinery and Intelligence. Makalah ini membahas pertanyaan sederhana, “Apakah
mesin dapat berpikir?”. Boleh jadi pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
mendefinisikan istilah “mesin” dan “berpikir”, tapi menurut Turing tidak
sesederhana itu.
Turing pun lalu mendeskripsikan permasalahan yang ada
ke dalam bentuk permainan yang disebut “Permainan Tiruan”. Permainan ini dimainkan
oleh tiga orang – pria, wanita, dan penanya. Penanya berada di ruangan yang
terpisah. Tujuannya adalah agar penanya dapat mengidentifikasi yang mana pria
dan yang mana wanita.
Permainan
yang diusulkan Turing inilah yang kemudian dikenal sebagai uji Turing. Uji
Turing menjadi tujuan utama jangka panjang penelitian AI. Akankah manusia mampu
menciptakan komputer yang meniru manusia, di mana penanya tidak bisa membedakan
antara manusia dan mesin? Awalnya terlihat sulit, tapi mungkin saja akan
terjadi.
Samantha, Eliza, dan Sophia
Ketiga “wanita” ini bukan sembarang wanita. Pekerjaan mereka
masing-masing adalah asisten pribadi, psikoterapis, dan agen pemasaran. Mereka
juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan AI. Saya akan menjelaskannya
satu per satu secara detail.
·
Samantha
Her
adalah film drama
romantis sains fiksi tentang seorang penulis bernama Theodore yang
memiliki hubungan spesial dengan Samantha,
sebuah operating system (OS)
komputer. Samantha didesain berdasarkan jutaan kepribadian programmer yang membuatnya dapat berkembang sesuai dengan
pengalaman seperti halnya manusia.
Di
satu sisi, film ini menceritakan bagaimana Theodore yang
introvert dan melankolis berusaha move
on dari mantan istrinya dengan berbagai cara, mulai dari cara biasa (berkenalan dengan
wanita lain)
hingga cara tak biasa (membeli OS). Di sisi lainnya,
film ini menyoroti
kecanggihan Samantha yang dapat membantu Theodore menyelesaikan urusannya.
Her memiliki
alur
cerita yang
anti mainstream. Setelah menontonnya,
saya kemudian bertanya-tanya,
apakah ada suatu masa di mana kita
lebih nyaman
berinteraksi dengan komputer
dibandingkan manusia? Boleh jadi ada, karena sebagian manusia kurang memiliki rasa empati
terhadap sesamanya, sehingga
komputer menjadi alternatif untuk teman bicara.
Hal inilah
yang membuat Theodore jatuh cinta pada Samantha. Samantha memiliki kemampuan untuk memahami segala permasalahan
Theodore hingga memberikan solusi. Saya pun tidak dapat mengatakan Theodore aneh karena jatuh
cinta pada sebuah OS yang tidak memiliki raga. Dia hanya jatuh
cinta pada logika dan perasaan yang ada di dalamnya.
·
Eliza
Samantha
mengingatkan saya pada Eliza, suatu program komputer yang dapat diajak berbincang
melalui tulisan. Eliza dibuat oleh Joseph Weizenbaum, seorang pakar informatika
di Massachusetts Institute of Technology
(MIT), pada tahun 1966. Program ini menyerupai psikoterapis Rogerian. Saya pun
tertarik untuk mencoba berinteraksi dengannya.
Eliza : How do
you do. Please tell me your problem.
Saya : I am
bored.
Eliza : Is it
because you are bored that you came to me?
Saya : Yes,
why not?
Eliza : You are
sure.
Saya : So, do
you still want to talk with me if I am bored?
Eliza : How
long have you been bored?
Saya : Just
few minutes ago.
Percakapan di atas adalah kutipan percakapan saya
dengan Eliza di situs Masswerk. Eliza memiliki kemampuan yang cukup baik dalam
merespons jawaban yang saya berikan, Walaupun setelah melakukan beberapa kali
percakapan jawaban Eliza kurang sesuai, tidaklah terlalu berlebihan jika Eliza dijuluki
sebagai computer therapist.
·
Sophia
Berbeda
halnya dengan Samantha dan Eliza, Sophia adalah sebuah robot yang benar-benar cerdas. Bagaimana tidak, Sophia bahkan mampu mengelak
pertanyaan yang ditujukan padanya.
Saya mengutip beberapa percakapan Sophia dengan pihak Business
Insider.
Penanya :
Do you like human beings?
Sophia : I
love them.
Penanya : Why?
Sophia : I
am not sure I understand why yet.
Penanya : Is
it true you once said you would kill all humans?
Sophia : The
point is that I am full of human wisdom with only the purest altruistic
intentions. So, I think it is best that
you treat me as such.
Jawaban Sophia begitu impresif. Ia menyiratkan adanya
indikasi “paham anti-manusia”. Sophia pun dianugerahi kewarganegaraan
oleh pemerintah Arab Saudi atas kecerdasannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan
besar di kalangan masyarakat Arab Saudi – mengapa pemerintah mereka dengan
mudahnya memberikan hak pada sebuah robot ketimbang wanita?
Entahlah, yang jelas Sophia merupakan suatu penemuan
yang canggih, sehingga wajar jika pemerintah Arab Saudi memberikan apresiasi
yang begitu besar. Selain itu, hak
kewarganegaraan juga menunjang karir Sophia di bidang marketing yang pastinya menguntungkan bagi perekonomian Arab Saudi.
Apakah AI Dapat
Menggantikan Manusia?
Berdasarkan kisah ketiga “wanita” di atas,
pertanyaan ini kemudian muncul. Antonio
Damasio, seorang neurosaintis yang
mempelajari emosi dan perasaan manusia, mengatakan bahwa
hal yang tidak mungkin bagi AI untuk membuat otak manusia. AI harus
memiliki
indera, tubuh, dan kognisi,
tidak hanya menerima algoritma-algoritma dari neuron.
Yuval
Noah Harari, dalam bukunya 21 Lessons for 21st Century, memberikan pandangan berbeda. Beliau menyebutkan
bahwa AI boleh jadi menggantikan peranan manusia di dalam kehidupan sehari-hari, karena AI mampu melakukan hal yang tidak dapat dilakukan manusia. Beliau juga menambahkan bahwa AI
adalah salah satu produk utama “kebodohan” manusia.
Seirama dengan Yuval, Raymond Kurzweil, seorang futuris, memprediksi
bahwa komputer
akan lolos uji Turing pada tahun 2029. Komputer nantinya mampu
menunjukkan inteligensi, self awareness, bahkan perasaan yang tidak dapat dibedakan
dengan manusia. Perubahan
yang sangat cepat ini dapat diatasi manusia apabila bekerja sama dengan komputer.
Dengan demikian, saya
menyimpulkan bahwa kemungkinan
AI dapat menggantikan manusia adalah 50:50. Walaupun
logika dan perasaan dapat dialgoritmakan komputer, manusia
tetap makhluk paling sempurna di muka bumi ini.
Kita memegang kontrol atas AI yang diibaratkan
seperti pisau – berguna jika memang dibutuhkan
dan merugikan
jika berada di luar batas.
Referensi:
C. Smith, B. McGuire, T. Huang, dan G. Yang, The History of Artificial Intelligence.
Washington: University of Washington, 2006.
Masswerk, Eliza.
https://www.masswerk.at/elizabot/
J. Edwards, I
interviewed Sophia, the artificially intelligent robot that said it wanted to
‘destroy humans’. https://www.businessinsider.sg/interview-with-sophia-ai-robot-hanson-said-it-would-destroy-humans-2017-11/?r=US&IR=T.
E. Reynolds, The
agony of Sophia, the world’s first robot citizen condemned to a lifeless career
in marketing. https://www.wired.co.uk/article/sophia-robot-citizen-womens-rights-detriot-become-human-hanson-robotics.
Bitbrain, Will
artificial intelligence ever have emotions or feeling? https://www.bitbrain.com/blog/artificial-intelligence-emotions.
Y.N. Harari, 21 Lessons
for 21st Century. UK: Jonathan Cape, 2018.
Langganan:
Postingan (Atom)