Pendahuluan
“Read, read,
read.”
William
Faulkner
Sepenggal
kutipan dari peraih Nobel Sastra tahun 1949 di atas menyiratkan makna adanya
urgensi untuk membaca. Ya, membaca adalah keterampilan dasar dalam berliterasi.
Membaca bahkan dapat mempengaruhi perkembangan suatu bangsa.
Menilik
hasil survei World Culture Index pada tahun 2018[1], India menempati
peringkat pertama sebagai negara yang paling banyak membaca dengan menghabiskan
sekitar 10 jam 42 menit per minggu. Tidak heran mengapa kita selalu menjumpai
orang India di setiap sektor pekerjaan, terlepas dari populasinya yang masif.
Namun, perkembangan teknologi yang begitu pesat di era
digital saat ini menjadi distraksi untuk membaca, terutama di Indonesia. Masyarakat
kita cenderung asyik bergawai ria ketimbang menikmati buku. Lantas, bagaimana
cara membangun budaya literasi di tengah fenomena tersebut, khususnya pada generasi muda?
Budaya Membaca Sejak
Dini
Hampir dua dekade yang lalu, tepatnya ketika duduk di
bangku sekolah dasar, majalah Bobo menjadi teman setia saya. Rubrik favoritku kala itu adalah Oki dan Nirmala, Boleh
Tahu, dan Tak Disangka. Bonus-bonusnya yang unik kian menambah ketertarikanku
untuk membaca Bobo.
Majalah Bobo[2]
Orang tua saya yang berprofesi sebagai dosen memiliki berbagai macam koleksi buku. Saya sering mencari
buku di lemari mereka. Sebuah buku untuk
belajar bahasa Inggris menjadi temanku berikutnya sembari menunggu Bobo edisi terbaru. Hampir seluruh soal
dalam buku yang dipinjam papa dari temannya tersebut saya isi dengan jawabanku sendiri. Malah, gambar-gambarnya saya warnai. Untunglah, teman papa
tidak marah ketika bukunya dikembalikan dalam kondisi demikian.
Lemari buku di rumah
Hobi membaca
saya menular ke adik-adik. Iqra, adik kedua saya, bahkan mengobrak-abrik koleksi
majalah Bobo saya sambil sesekali tertawa ketika masih merangkak. Dia pun mengikuti jejak
kakaknya menjadi pembaca setia Bobo dan kadang berebutan dengan Dinda, adik
saya yang terakhir. Adapun Dina,
adik pertama saya, hanya tertarik dengan bonusnya.
Orang tua tidak pernah memaksa kami untuk membaca buku tertentu.
Mereka membiarkan kami memilih buku apa yang diinginkan, karena hobi membaca
akan tumbuh dengan sendirinya jika telah menemukan buku yang tepat. Pengalaman ini cukup memberikan gambaran bahwa keluarga memiliki
peranan penting dalam mengenalkan budaya membaca sejak dini.
Foto di atas
memperlihatkan masyarakat kita tengah asyik bergawai. Pemandangan yang
lumrah di zaman sekarang. Melansir data dari Pew Research Center[4], pengguna smartphone
di Indonesia mencapai 42% dari jumlah populasi dengan pengguna terbanyak
adalah kalangan muda berusia 18–34 tahun.
Sayangnya, smartphone tidak selalu membuat penggunanya
pintar. Penyebaran
hoaks, isu SARA, ujaran kebencian, makar, dan lain-lain makin menjadi seiring canggihnya gawai yang dimiliki. Salah seorang teman saya ketika tidak sengaja menyebarkan hoaks berkata “Maaf, saya tidak tahu kalau itu
hoaks, soalnya saya hanya dapat info dari grup sebelah.” Miris, bukan?
Tidak hanya itu, smartphone
juga membuat masyarakat kita lebih betah untuk berlama-lama mengobrol dengan
orang di dunia maya daripada dengan orang di sekitar, apalagi untuk membaca buku. Menurut Global Web Index[5], rata-rata
pengguna media sosial di dunia menghabiskan 2 jam dan 23 menit setiap hari. Bandingkan dengan waktu yang dihabiskan orang Indonesia
untuk membaca, yaitu 6 jam per minggu atau sekitar 51,4 menit per hari[1].
Sungguh perbedaan yang sangat signifikan.
Sejatinya, gawai
dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia. Gawai memiliki banyak manfaat jika dapat diarahkan
ke hal-hal yang positif, seperti membangun budaya literasi melalui literasi
digital.
Literasi
Digital
Konsep literasi digital pertama kali diperkenalkan oleh
Paul Gilster pada tahun 1997 di dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy.
Gilster mendefinisikan literasi digital sebagai literacy in the digital age[6]. Dalam perkembangannya, literasi
digital merujuk ke berbagai macam strategi berpikir kognitif yang digunakan
oleh konsumen informasi digital. Strategi-strategi tersebut diperlukan untuk berkomunikasi
dengan dunia luar dan melakukan tugas administratif, kreatif, dan edukatif.
Peningkatan penggunaan konten media online juga menantang konsumen untuk
mengatur dan menyusun informasi secara nonlinier sembari mengintegrasikan media
visual untuk pengolahan informasi[7].
Perkembangan
literasi digital di Indonesia didominasi oleh perguruan tinggi dan sekolah. Gerakan-gerakan literasi masih
di seputar sosialisasi atau ceramah searah. Sifatnya juga cenderung sukarela,
insidental, dan sporadis. Hal ini disebabkan karena belum adanya sinergi antar pelaku gerakan
literasi[8].
Terkait
fakta-fakta di atas, solusi yang tepat adalah memulai gerakan literasi digital dari keluarga.
Orang tua dapat mengenalkan e-book atau audio book pada
anak-anaknya, di samping printed book.
Para guru di sekolah dapat
menugaskan murid-muridnya untuk membuat blog, seperti yang dilakukan oleh salah seorang guru saya
ketika SMA. Beliau menugaskan untuk membahas
soal-soal Ujian Nasional di blog. Manfaatnya pun terasa hingga kini. Banyak
pengunjung membaca tulisan saya dan menjadi pemantik semangat saya dalam mengasah
kemampuan menulis.
Selain itu, pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud dan Kominfo, perlu bersinergi untuk memberikan layanan literasi digital yang tepat sasaran pada masyarakat, khususnya pada generasi muda. Pengembangan kerangka kerja dengan panduan yang menjadi acuan semua organisasi untuk membuat program literasi digital juga dapat dipertimbangkan.
Selain itu, pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud dan Kominfo, perlu bersinergi untuk memberikan layanan literasi digital yang tepat sasaran pada masyarakat, khususnya pada generasi muda. Pengembangan kerangka kerja dengan panduan yang menjadi acuan semua organisasi untuk membuat program literasi digital juga dapat dipertimbangkan.
Kesimpulan
Perkembangan
teknologi di era digital saat ini membuat masyarakat kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk bergawai dibandingkan membaca. Untuk
membangun budaya literasi di tengah fenomena tersebut, khususnya pada generasi muda, solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memulai gerakan literasi digital dari keluarga (pengenalan bentuk literasi digital) yang didukung oleh lingkungan sekolah (penggunaan blog untuk tugas) dan pemerintah (sinergitas antara Kemdikbud dan Kominfo). Dengan
demikian, apabila menerapkan
solusi-solusi ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan memiliki generasi muda yang berliterat.
Referensi:
[1] Examined Existence, Which Country Reads the Most?
[2] Bukalapak,
Majalah Bobo 2002 Sampai 2009.
[4] Pew
Research Center, Smartphone Ownership is Growing Rapidly Around the World, but Not Always Equally.
[5] Global Web Index, 2019 Q1 GlobalWebIndex Social Flagship Report.
[6] Gilster, P. (1997). Digital
Literacy. New York: Wiley Computer Publishing.
[7] Kurnia, N., & Indra Astuti,
S. (2017). Peta Gerakan Literasi Digital di
Indonesia: Studi tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran, dan Mitra. INFORMASI
Kajian Ilmu Komunikasi, 47, 149–166.
[8] Eshet-Alkalai, Y. (2004).
Digital Literacy: A Conceptual Framework for Survival Skills in the Digital Era.
Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 13, 93–106.
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar