Wilayah Indonesia terdiri
dari pulau-pulau yang berjumlah sekitar 17.508 pulau, termasuk lima pulau
terbesar di dalamnya yaitu pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan
Irian. Lima pulau besar tersebut di samping pulau-pulau lainnya didiami oleh berbagai
suku yang memberikan warna tersendiri terhadap keberagaman di Indonesia, entah
itu melalui kuliner, kesenian, bahasa, maupun aspek lainnya. Selain keberagaman
secara buatan, terdapat pula keberagaman secara alami yang merupakan anugerah dari
Tuhan Yang Maha Kuasa, berupa pemandangan alam nan indah penuh ke-khas-an
masing-masing yang membentang di seluruh kawasan Nusantara.
Salah satu pulau,
yaitu Pulau Sulawesi adalah pulau yang bersebelahan dengan Pulau Kalimantan di
bagian barat. Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang unik, menyerupai huruf “K”.
Pulau terbesar ke-11 di dunia ini terbagi atas 6 provinsi; Gorontalo, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Tenggara. Nama lain Sulawesi adalah
Celebes, yang merupakan nama pemberian dari pelaut Portugis (bangsa Eropa
yang pertama kali mengunjungi Sulawesi). Istilah Celebes juga digunakan dalam kosakata bahasa Inggris untuk menyebut
wilayah ini.
Wilayah terbesar
di pulau Sulawesi terletak di provinsi Sulawesi Tengah. Provinsi ini lahir pada
tahun 1964, berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang
Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Kini
berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 11
daerah, yaitu 10 kabupaten (Banggai, Banggai Kepulauan, Buol, Donggala,
Morowali, Parigi Moutong, Poso, Tojo Una-Una, Toli-Toli, dan Sigi) serta 1 kota
(Palu).
Sulawesi Tengah memiliki beberapa
sungai, di antaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai
Gumbasa yang berpotensi untuk menghasilkan daya listrik, dan sungai Palu yang
membelah kota Palu. Selain sungai, terdapat pula danau yang menjadi obyek
wisata terkenal, yakni Danau Poso dan Danau Lindu. Danau Poso merupakan danau
terbesar ketiga di Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Poso. Danau ini
memiliki pasir putih dan wisata tracking di kawasan sekitar danau. Adapun danau
Lindu yang terletak di Kabupaten Sigi terkenal dengan keindahan pemandangan
danaunya dan merupakan habitat ikan mujair.
Penduduk asli Sulawesi Tengah
terdiri atas belasan kelompok suku yang mendiami wilayah lembah dan beberapa
suku yang hidup di daerah pegunungan. Banyaknya suku yang ada berkontribusi
terhadap banyaknya bahasa di Sulawesi Tengah. Namun, masyarakat Sulawesi Tengah
tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung untuk
berkomunikasi antar suku dalam kehidupan sehari-hari.
Suku mayoritas di Sulawesi Tengah
adalah suku Kaili. Suku Kaili secara turun-temurun mendiami wilayah di Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kota Palu, seluruh daerah di
lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau.
Mereka juga mendiami kampung atau desa di Teluk Tomini dan menghuni wilayah
pantai timur Sulawesi Tengah.
Ada beberapa
pendapat yang mengemukakan asal kata Kaili,
salah satunya menyebutkan bahwa kata Kaili
berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan
daerah, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Orang Kaili dalam
bahasa Kaili disebut “To Kaili”. “To” adalah prefiks yang berarti orang. Dari
sudut antropologi, cikal bakal orang Kaili menurut legenda berasal dari “bambu
kuning”, yang erat kaitannya dengan Sawerigading. “Sawerigading” berasal dari
kata savi yang berarti lahir dan rigading yang berarti di bambu kuning (bahasa
Makassar). Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka.
Suku Kaili
memiliki beberapa keunikan dari segi bahasa. Dengan adanya lebih dari dua puluh
bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, hanya dengan jarak
2 km antar kampung dapat ditemukan bahasa yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Selain itu, tiap bahasa dinamakan “tidak” sesuai dengan kosakata
bahasa tersebut. Ini dikarenakan suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata “Ledo” ini
berarti “tidak”. Bahasa Ledo ada yang masih asli (di sekitar Raranggonau dan
Tompu) dan ada yang telah berasimilasi dengan beberapa bahasa para pendatang,
terutama bahasa Mandar dan bahasa Melayu.
Suku Kaili
mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya dari segi sosial,
sebagaimana halnya dengan suku-suku lain di pelosok Nusantara. Hukum adat yang
berlaku merupakan norma yang harus dipatuhi dan terdapat sanksi bagi yang
melanggarnya. Ada pula beberapa upacara adat sebagai bagian dari adat istiadat
yang lainnya, misal upacara saat pesta pernikahan, kematian, musim panen, dan penyembuhan
penyakit. Sebelum masuknya agama dalam ranah Kaili, upacara-upacara ini
dilakukan dengan mantera-mantera yang mengandung kepercayaan masyarakat saat
itu (animisme). Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, upacara adat setempat
disesuaikan dengan upacara menurut agama penganutnya. Misal untuk yang beragama
Islam, upacara-upacara seperti sunat, khatam Al-Qur’an, dan gunting rambut bayi
usia 40 hari diselenggarakan berdasarkan ajaran agama Islam.
Salah satu upacara
adat suku Kaili, yakni upacara penyembuhan penyakit disebut no-Balia (memasukkan roh untuk mengobati
orang yang sakit). Suku Kaili melakukan penyembuhan penyakit dengan perantara
dukun. Penyakit yang dimaksudkan di sini adalah penyakit yang berasal dari
“teguran” makhluk halus. Pertama-tama si dukun membaca mantera-mantera yang
membuatnya menjadi kesurupan. Kemudian setelah kesurupan, si dukun mengelilingi
api yang telah dibuat hingga api tersebut mati. Selanjutnya ketika api padam,
mulailah dukun tersebut menari di atas bara api. Roh yang ada dalam tubuh si
dukun membuatnya dapat menari di atas bara api.
Pelaksanaan
upacara ritual no-Balia umumnya
dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas.
Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan
waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat dan disesuaikan dengan
hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Instrumen musik dimainkan dalam
upacara Balia untuk mengiringi si dukun yang menari-nari (bahasa Kaili : notaro) karena kesurupan.
Secara etimologi, “Balia”
berasal dari bahasa Kaili “nabali ia” yang artinya “berubah ia”. Perubahan
yang dimaksudkan adalah ketika pelaku Balia
dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku orang tersebut akan berubah
sesuai dengan perilaku roh halus tersebut. Misal si dukun pria dimasuki oleh
roh halus wanita, maka ia akan berperilaku layaknya seorang wanita. Pengertian
lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” yang berarti “ubah
dia”. Dalam pengertian ini lebih dititikberatkan pada seseorang yang
diupacarakan agar penyakitnya dapat disembuhkan. Singkatnya orang yang sakit diubah
menjadi sembuh.
Meskipun sebagian
besar To Kaili memeluk agama Islam,
namun sampai saat ini mereka masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan
animisme. Selain mengakui adanya kekuatan Tuhan, mereka juga mengakui adanya
kekuatan gaib di langit dan di bumi. Pemilik kekuatan gaib di langit disebut karampua
dan pemilik kekuatan gaib di bumi disebut anitu. Segala isi alam juga
diyakini memiliki penghuni seperti pohon, gua, gunung, dan lain-lain.
Seseorang yang melanggar
dan membuat para pemilik kekuatan gaib murka menyebabkan ia ditimpa bencana
atau penyakit. Agar bencana atau penyakit itu hilang, maka ia diwajibkan untuk
menjalani proses “pertobatan”. Proses ini dalam adat suku Kaili diwujudkan
dalam ritual no-Balia. Balia sendiri merupakan ritual yang
dilakukan oleh Sawerigading (nenek moyang suku Kaili) dan diikuti secara
turun-temurun hingga saat ini.
Selain kekayaan
budaya dari segi sosial, suku Kaili juga memiliki kekayaan budaya di bidang
seni. Musik dan tarian memberikan nuansa yang heterogen di bidang ini. Fungsi keduanya
telah dikembangkan sebagai hiburan untuk masyarakat yang sebelumnya hanya
digunakan sebagai bagian dari ritual keagamaan. Hal ini terlihat dari adanya festival
yang menampilkan tarian diiringi oleh musik tradisional. Beberapa instrumen
musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain kakula atau gulintang (sejenis gamelan pentatonis), lalove (serunai), nggeso-nggeso
(rebab berdawai dua), gimba
(gendang), gamba-gamba (gamelan yang
datar atau kecil), goo (gong), dan suli (suling). Adapun tarian Kaili
dibagi ke dalam dua kategori, tradisional dan kreasi. Tarian tradisional yaitu
tari Raego dan tari Baba. Adapun tarian yang termasuk kreasi yakni tari
Pontanu, Pamonte, Peule Cinde atau Mokambu, dan Baliore.
Tari Pamonte
adalah salah satu tari kreasi yang merakyat di kalangan suku Kaili. Tarian ini
diciptakan oleh almarhum Hasan M. Bahasyuan, seorang seniman besar yang berasal
dari Sulawesi Tengah, pada tahun 1957. Kata “Pamonte” berasal dari bahasa Kaili
Tara; Po artinya pelaksana dan Monte artinya tuai atau menuai sehingga “Pamonte”
artinya Penuai.
Tari Pamonte merupakan
simbol gerak dari kebiasaan gadis-gadis suku Kaili ketika musim panen padi
tiba. Mayoritas suku Kaili menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Para
gadis menuai padi dengan penuh suka cita dan diiringi upacara kesyukuran kepada
Tuhan atas keberhasilan panen. Gadis-gadis dipimpin oleh seseorang yang dalam
bahasa Kaili disebut Tadulako. Tadulako berperan mengantar
rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi ke rumah, membawa padi ke lesung,
menumbuk padi, menapis, membawa beras ke rumah, dan mengadakan upacara
selamatan. Tari Pamonte memiliki daya tarik yang kuat karena di setiap gerakannya
menimbulkan kegembiraan terhadap penonton. Adapun lagu yang mengiringi tarian
tersebut tentulah berbahasa Kaili sehingga mudah dimengerti bagi yang
menontonnya, terutama masyarakat di lembah Palu.
Selain di bidang
sosial dan seni, masyarakat Kaili juga memiliki kerajinan tangan yang sarat akan
budaya. Salah satu kerajinan masyarakat Kaili adalah menenun sarung. Sarung
tersebut seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang. Kegiatan menenun sarung
ini banyak dilakukan para wanita di daerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo, dan
Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili
disebut Buya Sabe, tetapi masyarakat umum lebih familiar dengan nama Sarung
Donggala. Jenis Buya Sabe mempunyai
nama-nama tersendiri berdasarkan motif dan warna tenunannya.
Berdasarkan
pemaparan mengenai kebudayaan suku Kaili, dapat ditarik beberapa kesimpulan.
Pertama, masyarakat Kaili masih memegang teguh tradisi yang menyangkut aspek
kehidupan. Kepercayaan lama yang ada dilakukan dalam beberapa bentuk dengan
berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Kedua, hubungan kekerabatan
masyarakat suku Kaili sangat nampak pada kegiatan kehidupan sehari-hari. Ini
digambarkan melalui ritual no-Balia
dan tarian Pamonte di mana keduanya mengandung semangat kebersamaan dan gotong
royong yang disebut Sintuvu. Dan yang
ketiga, kebudayaan suku Kaili dapat menjadi hiburan bagi masyarakat. Nilai seni
yang tinggi sebagai salah satu kearifan lokal telah mewujudkan ikon budaya yang
dapat mempresentasikan eksistensi suku Kaili di mata nasional maupun
internasional. Menjaga, merawat, memelihara, serta melestarikan kebudayaan
tersebut tentunya menjadi tanggung jawab bersama.